Dampak Filsafat

Bisa disadari atau tidak, bahwa muatan dan metode berfikir kita sungguh sudah dijajah habis-habisan oleh filsafat yang tidak otentik dari peradaban kita. Seandainya kita tak terjajah, bagaimana mungkin kita menggunakan istilah “MAHA siswa” untuk seseorang yang belajar pasca SMA di kampus manapun. Itu jelas kata-kata yang kempliti dan Gumede. Sandangan kata “Maha” hanya pantas dilekatkan untuk Allah SWT semata. Makhluk sebagai hamba dan budak jangan sampai memakai pakaian, gelar, dan kehormatan yang hanya patut disandang oleh Allah saja. Pengajian pun jangan ikut-ikutan memakai kata sifat “akbar”, sebagaimana lazim dalam tulisan-tulisan pamflet yang berujar kunjungilah “pengajian akbar” karena Akbar sifatnya Allah, jangan sekali-kali ditempel di belakang kata pengajian, apalagi nama band.

Perkiraan penulis mengatakan bahwa kekeliruan-kekeliruan itu berasal dari pengaruh pondasi ilmu pengetahuan yang biasa disebut sebagai filsafat, atau dalam bahasa filsafat, dia memahkotai diri dengan slogan: mother of science (ibunya ilmu pengetahuan).

Rata-rata murid perguruan tinggi mengetahui ajaran Rene Descartes yang berujar cogito ergo sum (aku berfikir maka aku ada). Keberadaan manusia itu ditentukan oleh pikiran dan bagaimana manusia berfikir. Dalam ungkapan tersebut terasa sekulernya, karena eksistensi manusia tak bergantung kepada siapapun selain pada pikirannya sendiri. Maka pantas apabila yang digunakan kata “Mahasiswa” bukan kata murid. Kata murid diserap dari bahasa Arab yang berasal dari kata “arada” yang berarti menghendaki segala hal. Murid bisa menghendaki tambahan ilmu dari Allah, guru, dan dari proses kehidupannya. Ia tidak seperti Mahasiswa yang sudah rumongso Maha, maka tak usah mengharapkan apa-apa selain mengandalkan daya kritis dan pikirannya sendiri.

Dasar dari filsafat Jawa adalah ketawadluan sebagaimana ungkapan filosofi bisoho rumongso ojo rumongso biso (sebisa mungkin untuk sadar diri dan rendah hati, bukan merasa diri paling mampu, dan paling bisa). Maka yang patut menyandang dasar filosofi tersebut adalah seorang “murid” yang selalu berharap kepada Tuhannya, bukan “mahasiswa” yang gumede dengan Ke-Maha-annya dan pikirannya.

Mengamati dua ungkapan dasar filosofi dua peradaban yang berbeda ini juga menunjukkan bahwa alat untuk berfilsafat yang dipakai pun berbeda. Ungkapan filosofi barat memakai alat otak, karena dia berfikir. Maka kecenderungan pembangunan peradaban barat lebih berorientasi kepada pengetahuan dan pikiran, ia membuntutkan hati. Sedangkan alat yang pertama dipakai oleh orang timur, khususnya Jawa untuk berfilsafat, dan berperadaban adalah memakai hati, karena ia merasa (rumongso), dan tawadlu (bisoho rumongso).

Nuansa dan citarasa kedua filosofi itu sungguh bertolak belakang. Tinggal kita memilih, sesungguhnya yang menjadi dasar peradaban dan filosofi kita adalah yang mana? Dan kira-kira yang sering kita pakai menjadi pandangan hidup selama ini adalah yang mana?

Kalau boleh saya meraba-raba, maka yang sering saya temukan adalah bahwa orang-orang terdidik, bahkan pola pendidikan kita berdiri di atas landasan filosofi cogito ergo sum. Dan mengubur dasar filosofi otentik kita bisoho rumongso ojo rumongso biso. Buktinya apa? Kita cukup menunjuk kepada bagaimana pendidikan kita diselenggarakan. Bukan menjadi hitungan lembaga pendidikan untuk menerima calon muridnya, tentang kebaikan akhlak calon akan didiknya. UGM tak mungkin menyeleksi tingkat kejujuran, keberanian, ketawadluan, kezuhudan mahasiswanya, ia juga tak mungkin menanyakan apakah calon mahasiswanya pernah nyopet, memperkosa, maling, bikin kisruh, dll. Universitas mempercayakan masalah akhlak cukup dengan selembar kertas yang berjudul: SKKB (Surat Keterangan Kelakuan Baik) yang dikeluarkan oleh Polres setempat.

Kita juga bisa melihat lagi kenyataan bahwa penyeleksian calon murid di lembaga pendidikan manapun cukup dilalui dengan mengisi soal-soal yang hanya memakai otak, tak perlu menyelesaikannya memakai hati, karena soal-soal sebatas pengetahuan dan akrobatik rumus dan logika. Semakin tinggi pendidikan murid, semakin tak diperhatikan pula akhlaknya. Dulu waktu duduk di bangku sekolah TK, kita sering ditegur oleh Ustadzah ketika kita berkata bohong, menghina, menyakiti temannya. Kita juga ditauladani bagaimana berinteraksi dengan Allah, Sahabat, manusia, dan makhluk lainnya. Semakin tinggi pendidikan murid, semakin tak menemukan teguran tentang berakhlak yang baik, apalagi tauladannya tapi ia akan mendapat dampratan tiada habis, hanya karena ia tak kuasa menjawab soal-soal ujian. Sehingga banyak kenyataan anak-anak menghabiskan waktunya hanya untuk mengikuti bimbingan belajar, kursus, privat, dan tak satupun bimbingan hati terlihat.

Mencermati hal tersebut penulis jadi suudzan, jangan-jangan dasar berfikir kita dan model hidup kita sudah sangat terjajah dengan pola berfikir sekuler yang tak menghitung perkembangan hati sebagai hitungan untuk masa depan anak didik. Padahal seandainya kita mau mencermati sejarah peradaban Indonesia sejak jaman kejayaan kerajaan Atlantis yang disinyalir Aryoso Desantos berada di Indonesia, maka sangat jelas bahwa dasar dari peradaban Indonesia adalah peradaban hati, peradaban akhlak.

Kalau seandainya tetangga kita ada yang ternak lebah, atau berkerajinan membuat tempe, maka sering ada kabar bahwa baik dan tidaknya hasil produksi madu, dan hasil produksi tempe sangat erat hubungannya dengan tingkat kebersihan hati seseorang, juga tingkat ketenangan hati seseorang. Maka ketika produsen hatinya lagi galau seringkali ia menghindari untuk memproduksi sendiri, ia memilih seseorang yang mengerjakan produksinya. itu artinya bahwa seandainya kita membangun usaha apapun, untuk menilai kesuksesannya dengan cara berfikir peradaban timur, maka akan mendahulukan untuk menilai hati seseorang, ketimbang hitung-hitungan otak tentang kebenaran takaran-takaran bahan baku untuk produksi. Logika timur juga mengatakan bahwa seandainya ada orang sakit, maka untuk menuju iklim yang sehat kembali, diperlukan perubahan mental, berfikir, hati manusianya, lingkungan bukan bagaimana kita menyediakan obat yang super mahal dan supercanggih.

Untuk urusan kesehatan ini pasti yang pertama kali dituding adalah diri manusianya sendiri, bukan unsur yang diluar manusia. Karena pengobatan timur berkeyakinan bahwa obat sudah disediakan Tuhan di dalam tubuh manusia, maka manusia tinggal mengkhilafahi agar obat itu bisa keluar. Jalan yang biasa dipakai untuk mengeluarkan obat dengan cara accupuntur, accupressure, hijamah, bekam, reiki, dll. Pengobatan-pengobatan tersebut seringkali tak mengandalkan obat kimiawi, karena sebagian memanfaatkan obat yang sudah berada dalam tubuh, juga mereka memanfaatkan bermacam energi yang beredar disekitarnya untuk dipinjam dalam rangka penyembuhan, hal ini biasa digunakan oleh pengobatan ala reiki.

Mungkin bagi logika barat terasa asing kalau seandainya pengobatan tanpa obat. Padahal obat tak perlu hanya berbentuk pil dan sirup. Ia mesti banyak ragam, metode, dan manfaatnya. Masih ingat Ponari kan? Berbagai macam penyakit hanya disembuhkan dengan satu obat, dan dalam pandangan masyarakat umum tak dipandang sebagai obat, tetapi sebagai bahan bangunan, berupa batu. Maka tak heran apabila teknologi jaman kerajaan atlantis yang ditengarai sebagai peradaban pertama di dunia ini memakai teknologi hati.

Inggrid Benetti seorang berkebangsaan Inggris yang bisa mengingat kehidupannya masa lalu. Ia menceritakan bahwa dulu dirinya termasuk petugas pengendali listrik Kerajaan Atlantis (baca: Peradaban Indonesia Keemasan). Listrik seluruh kota dikendalikan oleh bongkahan kristal besar yang disimpan di pusat kota. Listrik bisa terang dan remang-remang tergantung kepada kejernihan hati Benetti selaku petugas penjaga energi listrik, maka Benetti dalam keadaan apapun harus selalu bertahan dalam prinsip “jagalah hati, jangan kau nodai,”

Ketika cerita Benetti disampaikan ke khalayak umum biasanya mereka akan menuduh sebagai cerita fiksi yang penuh mitos dan khayal. Padahal tiap hari manusia juga dilingkupi mitos iklan, seperti iklan lotion pemutih yang selalu berujar “memutihkan wajah dalam dua minggu.” padahal tak mungkin bisa putih, kalau yang makai manusia berkebangsaan negroid. Ini sama absurnya dengan ketidakpercayaan para ilmuwan UGM kepada pawang hujan, tetapi setiap akan menyelenggarakan acara wisuda UGM pasti menghadirkan pawang hujan untuk mengalihkan hujan.

Pawang hujan semacam itulah pada jaman kejayaan Kerajaan Atlantis sebagai kekhasan teknologi peradaban atlantis. Maka cerita Benetti mengatakan bahwa manusia Atlantis banyak yang bisa berbicara dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan, kecanggihan teknologi internal masing-masing manusia itu ditentukan oleh kejernihan dan ketulusan hati manusia. Santet, pawang hujan, saipi angin, panglimunan, bolo sewu, aji bondowoso merupakan teknologi internal yang ilmiyah dan bisa dipelajari. Karena kita selama ini mengubur filosofi dasar peradaban kita, dan terpengaruh filosofi peradaban orang lain, maka kita sering menuduh apa yang sejatinya dari peradaban kita sendiri sebagai benda asing yang penuh khayalan.

Ciri khas dari peradaban timur, khususnya Jawa, atau lebih lamanya peradaban Atlantis selalu menggunakan teknologi internal, dan menomer buncitkan teknologi eksternal, sehingga manusia timur cenderung lebih mandiri dibandingkan dengan manusia barat. Untuk mengubah suhu ruangan seseorang yang biasa semedi akan bisa mengatur suhu yang melingkupi sekelilingnya. Udara akan berubah jadi hangat saat udara penuh kandungan air dan dingin, sebaliknya berubah menjadi dingin saat tingkat kepanasan suhu naik. Maka jangan heran apabila para pertapa di lereng Himalaya tak pernah terlintas dalam pikiran mereka untuk membeli jaket, apalagi memakainya. Berbeda manusia pengamal ilmu ketergantungan dengan teknologi eksternal. Mereka selalu akan tergantung kepada AC, Listrik, Kipas Angin dll.

Para pendekar dulu dalam cerita sandiwara di radio-radio selalu mudah untuk menempuh perjalanan jauh, dengan merapal ajian saipi angin sudah dapat merubah bobot tubuhnya menjadi laksana kapas yang bisa diterbangkan oleh angin. Hal itu bukan cerita khayalan tetapi benar-benar terjadi pada jaman dahulu, karena mereka semua pengamal ilmu laku teknologi internal.

Hukum Teknologi internal ini seamin dengan pendapat Iqbal tentang tiga maqom pengendalian seorang wali. Iqbal berujar, bahwa seseorang yang sudah lulus mengendalikan nafsu dirinya, maka dia akan tambah maqam, diantaranya ia bisa merubah, mengendalikan orang lain. Maka pada maqam lebih lanjut seseorang bisa mengendalikan alam lingkungannya. Maka tak heran apabila dulu sempat diceritakan tentang seorang wali yang tahu berapa daun pepohonan yang akan jatuh pada esok hari. Lebih lanjut, ketika seseorang mencapai pada maqam yang lebih tinggi, malaikat Izrail pun akan berkonsultasi kepadanya saat jatah hidup semakin sempit, “kira-kira mau dicopot kapan nyawa dari tubuh tuan.” demikian Izrail menawarkan.

yang perlu dilakukan, khususnya oleh generasi sekarang adalah menggali segala macam aspek hidup yang itu berasal dari asli filosofi peradaban kita. Filsafat yang selama ini kita pelajari dan mempengaruhi pikiran kita adalah mayoritas hasil olah pikir peradaban barat. Padahal filsafat atlantis dengan filsafat yang selama ini mempengaruhi pola pikir kita adalah sangat berbeda.

Filsafat hidup yang perlu digali oleh anak cucu bangsa Atlantis (Indonesia) adalah kata keadilan. Kita tidak punya kata dasar: adil, sebagaimana adil dalam bahasa Inggris yang berarti justice. Kata adil diserap dari bahasa Arab yang berarti al-adl, yang kita punyai adalah kata selaras. Kalau seandainya dalam peradaban kita tidak mempunyai kata adil yang asli dari peradaban kita, dan yang ada kata selaras. Maka perilaku manusia, bangsa, dan peradabannya pun lebih mementingkan keselarasan dibandingkan dengan keadilan.

Koruptor secara ramai-ramai dengan santai tanpa masalah maling uang rakyat tanpa memperhatikan keadilan, tetapi menjadi masalah ketika uang itu tidak dibagikan dengan orang-orang disekelilingnya, karena hal itu dirasa tidak selaras. Kalau uang hasil korupsi tidak dibagikan merata, Mesti ada yang bilang “mana uang dengarnya.” selama kita belum menggali kata, peradaban keadilan dari peradaban autentik Indonesia, maka selama itu pula kita tidak mementingkan peradaban keadilan.

Kita sebagai peradaban awal dunia, maka layaknya kebo yang tak boleh nyusu kepada gudel-gudel peradaban lainnya. Kita jangan asing di rumah sendiri, maka kalau kita asing dengan filosofi kita sendiri, bukti bahwa kita belum menemukan jati diri kita. Sehingga kita mau mengembik, berkokok, atau mengerik itu tergantung identifikasi jati diri kita dan peradaban kita. Kalau peradaban kita itu sebagai peradaban macan maka tak pantaslah kita berkokok laksana ayam, dan mengembik seperti kambing. Sudah saatnya peradaban kita mengaum!!!

Wallahu alaam bimuraadihi.

Pesan, 22 Januari 2010

by Ahmad Saifullah


Sumber: http://tanbihun.com

0 Response to "Dampak Filsafat"

Posting Komentar

facebooker 468X60