Dampak Filsafat

Bisa disadari atau tidak, bahwa muatan dan metode berfikir kita sungguh sudah dijajah habis-habisan oleh filsafat yang tidak otentik dari peradaban kita. Seandainya kita tak terjajah, bagaimana mungkin kita menggunakan istilah “MAHA siswa” untuk seseorang yang belajar pasca SMA di kampus manapun. Itu jelas kata-kata yang kempliti dan Gumede. Sandangan kata “Maha” hanya pantas dilekatkan untuk Allah SWT semata. Makhluk sebagai hamba dan budak jangan sampai memakai pakaian, gelar, dan kehormatan yang hanya patut disandang oleh Allah saja. Pengajian pun jangan ikut-ikutan memakai kata sifat “akbar”, sebagaimana lazim dalam tulisan-tulisan pamflet yang berujar kunjungilah “pengajian akbar” karena Akbar sifatnya Allah, jangan sekali-kali ditempel di belakang kata pengajian, apalagi nama band.

Perkiraan penulis mengatakan bahwa kekeliruan-kekeliruan itu berasal dari pengaruh pondasi ilmu pengetahuan yang biasa disebut sebagai filsafat, atau dalam bahasa filsafat, dia memahkotai diri dengan slogan: mother of science (ibunya ilmu pengetahuan).

Rata-rata murid perguruan tinggi mengetahui ajaran Rene Descartes yang berujar cogito ergo sum (aku berfikir maka aku ada). Keberadaan manusia itu ditentukan oleh pikiran dan bagaimana manusia berfikir. Dalam ungkapan tersebut terasa sekulernya, karena eksistensi manusia tak bergantung kepada siapapun selain pada pikirannya sendiri. Maka pantas apabila yang digunakan kata “Mahasiswa” bukan kata murid. Kata murid diserap dari bahasa Arab yang berasal dari kata “arada” yang berarti menghendaki segala hal. Murid bisa menghendaki tambahan ilmu dari Allah, guru, dan dari proses kehidupannya. Ia tidak seperti Mahasiswa yang sudah rumongso Maha, maka tak usah mengharapkan apa-apa selain mengandalkan daya kritis dan pikirannya sendiri.

Dasar dari filsafat Jawa adalah ketawadluan sebagaimana ungkapan filosofi bisoho rumongso ojo rumongso biso (sebisa mungkin untuk sadar diri dan rendah hati, bukan merasa diri paling mampu, dan paling bisa). Maka yang patut menyandang dasar filosofi tersebut adalah seorang “murid” yang selalu berharap kepada Tuhannya, bukan “mahasiswa” yang gumede dengan Ke-Maha-annya dan pikirannya.

Mengamati dua ungkapan dasar filosofi dua peradaban yang berbeda ini juga menunjukkan bahwa alat untuk berfilsafat yang dipakai pun berbeda. Ungkapan filosofi barat memakai alat otak, karena dia berfikir. Maka kecenderungan pembangunan peradaban barat lebih berorientasi kepada pengetahuan dan pikiran, ia membuntutkan hati. Sedangkan alat yang pertama dipakai oleh orang timur, khususnya Jawa untuk berfilsafat, dan berperadaban adalah memakai hati, karena ia merasa (rumongso), dan tawadlu (bisoho rumongso).

Nuansa dan citarasa kedua filosofi itu sungguh bertolak belakang. Tinggal kita memilih, sesungguhnya yang menjadi dasar peradaban dan filosofi kita adalah yang mana? Dan kira-kira yang sering kita pakai menjadi pandangan hidup selama ini adalah yang mana?

Kalau boleh saya meraba-raba, maka yang sering saya temukan adalah bahwa orang-orang terdidik, bahkan pola pendidikan kita berdiri di atas landasan filosofi cogito ergo sum. Dan mengubur dasar filosofi otentik kita bisoho rumongso ojo rumongso biso. Buktinya apa? Kita cukup menunjuk kepada bagaimana pendidikan kita diselenggarakan. Bukan menjadi hitungan lembaga pendidikan untuk menerima calon muridnya, tentang kebaikan akhlak calon akan didiknya. UGM tak mungkin menyeleksi tingkat kejujuran, keberanian, ketawadluan, kezuhudan mahasiswanya, ia juga tak mungkin menanyakan apakah calon mahasiswanya pernah nyopet, memperkosa, maling, bikin kisruh, dll. Universitas mempercayakan masalah akhlak cukup dengan selembar kertas yang berjudul: SKKB (Surat Keterangan Kelakuan Baik) yang dikeluarkan oleh Polres setempat.

Kita juga bisa melihat lagi kenyataan bahwa penyeleksian calon murid di lembaga pendidikan manapun cukup dilalui dengan mengisi soal-soal yang hanya memakai otak, tak perlu menyelesaikannya memakai hati, karena soal-soal sebatas pengetahuan dan akrobatik rumus dan logika. Semakin tinggi pendidikan murid, semakin tak diperhatikan pula akhlaknya. Dulu waktu duduk di bangku sekolah TK, kita sering ditegur oleh Ustadzah ketika kita berkata bohong, menghina, menyakiti temannya. Kita juga ditauladani bagaimana berinteraksi dengan Allah, Sahabat, manusia, dan makhluk lainnya. Semakin tinggi pendidikan murid, semakin tak menemukan teguran tentang berakhlak yang baik, apalagi tauladannya tapi ia akan mendapat dampratan tiada habis, hanya karena ia tak kuasa menjawab soal-soal ujian. Sehingga banyak kenyataan anak-anak menghabiskan waktunya hanya untuk mengikuti bimbingan belajar, kursus, privat, dan tak satupun bimbingan hati terlihat.

Mencermati hal tersebut penulis jadi suudzan, jangan-jangan dasar berfikir kita dan model hidup kita sudah sangat terjajah dengan pola berfikir sekuler yang tak menghitung perkembangan hati sebagai hitungan untuk masa depan anak didik. Padahal seandainya kita mau mencermati sejarah peradaban Indonesia sejak jaman kejayaan kerajaan Atlantis yang disinyalir Aryoso Desantos berada di Indonesia, maka sangat jelas bahwa dasar dari peradaban Indonesia adalah peradaban hati, peradaban akhlak.

Kalau seandainya tetangga kita ada yang ternak lebah, atau berkerajinan membuat tempe, maka sering ada kabar bahwa baik dan tidaknya hasil produksi madu, dan hasil produksi tempe sangat erat hubungannya dengan tingkat kebersihan hati seseorang, juga tingkat ketenangan hati seseorang. Maka ketika produsen hatinya lagi galau seringkali ia menghindari untuk memproduksi sendiri, ia memilih seseorang yang mengerjakan produksinya. itu artinya bahwa seandainya kita membangun usaha apapun, untuk menilai kesuksesannya dengan cara berfikir peradaban timur, maka akan mendahulukan untuk menilai hati seseorang, ketimbang hitung-hitungan otak tentang kebenaran takaran-takaran bahan baku untuk produksi. Logika timur juga mengatakan bahwa seandainya ada orang sakit, maka untuk menuju iklim yang sehat kembali, diperlukan perubahan mental, berfikir, hati manusianya, lingkungan bukan bagaimana kita menyediakan obat yang super mahal dan supercanggih.

Untuk urusan kesehatan ini pasti yang pertama kali dituding adalah diri manusianya sendiri, bukan unsur yang diluar manusia. Karena pengobatan timur berkeyakinan bahwa obat sudah disediakan Tuhan di dalam tubuh manusia, maka manusia tinggal mengkhilafahi agar obat itu bisa keluar. Jalan yang biasa dipakai untuk mengeluarkan obat dengan cara accupuntur, accupressure, hijamah, bekam, reiki, dll. Pengobatan-pengobatan tersebut seringkali tak mengandalkan obat kimiawi, karena sebagian memanfaatkan obat yang sudah berada dalam tubuh, juga mereka memanfaatkan bermacam energi yang beredar disekitarnya untuk dipinjam dalam rangka penyembuhan, hal ini biasa digunakan oleh pengobatan ala reiki.

Mungkin bagi logika barat terasa asing kalau seandainya pengobatan tanpa obat. Padahal obat tak perlu hanya berbentuk pil dan sirup. Ia mesti banyak ragam, metode, dan manfaatnya. Masih ingat Ponari kan? Berbagai macam penyakit hanya disembuhkan dengan satu obat, dan dalam pandangan masyarakat umum tak dipandang sebagai obat, tetapi sebagai bahan bangunan, berupa batu. Maka tak heran apabila teknologi jaman kerajaan atlantis yang ditengarai sebagai peradaban pertama di dunia ini memakai teknologi hati.

Inggrid Benetti seorang berkebangsaan Inggris yang bisa mengingat kehidupannya masa lalu. Ia menceritakan bahwa dulu dirinya termasuk petugas pengendali listrik Kerajaan Atlantis (baca: Peradaban Indonesia Keemasan). Listrik seluruh kota dikendalikan oleh bongkahan kristal besar yang disimpan di pusat kota. Listrik bisa terang dan remang-remang tergantung kepada kejernihan hati Benetti selaku petugas penjaga energi listrik, maka Benetti dalam keadaan apapun harus selalu bertahan dalam prinsip “jagalah hati, jangan kau nodai,”

Ketika cerita Benetti disampaikan ke khalayak umum biasanya mereka akan menuduh sebagai cerita fiksi yang penuh mitos dan khayal. Padahal tiap hari manusia juga dilingkupi mitos iklan, seperti iklan lotion pemutih yang selalu berujar “memutihkan wajah dalam dua minggu.” padahal tak mungkin bisa putih, kalau yang makai manusia berkebangsaan negroid. Ini sama absurnya dengan ketidakpercayaan para ilmuwan UGM kepada pawang hujan, tetapi setiap akan menyelenggarakan acara wisuda UGM pasti menghadirkan pawang hujan untuk mengalihkan hujan.

Pawang hujan semacam itulah pada jaman kejayaan Kerajaan Atlantis sebagai kekhasan teknologi peradaban atlantis. Maka cerita Benetti mengatakan bahwa manusia Atlantis banyak yang bisa berbicara dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan, kecanggihan teknologi internal masing-masing manusia itu ditentukan oleh kejernihan dan ketulusan hati manusia. Santet, pawang hujan, saipi angin, panglimunan, bolo sewu, aji bondowoso merupakan teknologi internal yang ilmiyah dan bisa dipelajari. Karena kita selama ini mengubur filosofi dasar peradaban kita, dan terpengaruh filosofi peradaban orang lain, maka kita sering menuduh apa yang sejatinya dari peradaban kita sendiri sebagai benda asing yang penuh khayalan.

Ciri khas dari peradaban timur, khususnya Jawa, atau lebih lamanya peradaban Atlantis selalu menggunakan teknologi internal, dan menomer buncitkan teknologi eksternal, sehingga manusia timur cenderung lebih mandiri dibandingkan dengan manusia barat. Untuk mengubah suhu ruangan seseorang yang biasa semedi akan bisa mengatur suhu yang melingkupi sekelilingnya. Udara akan berubah jadi hangat saat udara penuh kandungan air dan dingin, sebaliknya berubah menjadi dingin saat tingkat kepanasan suhu naik. Maka jangan heran apabila para pertapa di lereng Himalaya tak pernah terlintas dalam pikiran mereka untuk membeli jaket, apalagi memakainya. Berbeda manusia pengamal ilmu ketergantungan dengan teknologi eksternal. Mereka selalu akan tergantung kepada AC, Listrik, Kipas Angin dll.

Para pendekar dulu dalam cerita sandiwara di radio-radio selalu mudah untuk menempuh perjalanan jauh, dengan merapal ajian saipi angin sudah dapat merubah bobot tubuhnya menjadi laksana kapas yang bisa diterbangkan oleh angin. Hal itu bukan cerita khayalan tetapi benar-benar terjadi pada jaman dahulu, karena mereka semua pengamal ilmu laku teknologi internal.

Hukum Teknologi internal ini seamin dengan pendapat Iqbal tentang tiga maqom pengendalian seorang wali. Iqbal berujar, bahwa seseorang yang sudah lulus mengendalikan nafsu dirinya, maka dia akan tambah maqam, diantaranya ia bisa merubah, mengendalikan orang lain. Maka pada maqam lebih lanjut seseorang bisa mengendalikan alam lingkungannya. Maka tak heran apabila dulu sempat diceritakan tentang seorang wali yang tahu berapa daun pepohonan yang akan jatuh pada esok hari. Lebih lanjut, ketika seseorang mencapai pada maqam yang lebih tinggi, malaikat Izrail pun akan berkonsultasi kepadanya saat jatah hidup semakin sempit, “kira-kira mau dicopot kapan nyawa dari tubuh tuan.” demikian Izrail menawarkan.

yang perlu dilakukan, khususnya oleh generasi sekarang adalah menggali segala macam aspek hidup yang itu berasal dari asli filosofi peradaban kita. Filsafat yang selama ini kita pelajari dan mempengaruhi pikiran kita adalah mayoritas hasil olah pikir peradaban barat. Padahal filsafat atlantis dengan filsafat yang selama ini mempengaruhi pola pikir kita adalah sangat berbeda.

Filsafat hidup yang perlu digali oleh anak cucu bangsa Atlantis (Indonesia) adalah kata keadilan. Kita tidak punya kata dasar: adil, sebagaimana adil dalam bahasa Inggris yang berarti justice. Kata adil diserap dari bahasa Arab yang berarti al-adl, yang kita punyai adalah kata selaras. Kalau seandainya dalam peradaban kita tidak mempunyai kata adil yang asli dari peradaban kita, dan yang ada kata selaras. Maka perilaku manusia, bangsa, dan peradabannya pun lebih mementingkan keselarasan dibandingkan dengan keadilan.

Koruptor secara ramai-ramai dengan santai tanpa masalah maling uang rakyat tanpa memperhatikan keadilan, tetapi menjadi masalah ketika uang itu tidak dibagikan dengan orang-orang disekelilingnya, karena hal itu dirasa tidak selaras. Kalau uang hasil korupsi tidak dibagikan merata, Mesti ada yang bilang “mana uang dengarnya.” selama kita belum menggali kata, peradaban keadilan dari peradaban autentik Indonesia, maka selama itu pula kita tidak mementingkan peradaban keadilan.

Kita sebagai peradaban awal dunia, maka layaknya kebo yang tak boleh nyusu kepada gudel-gudel peradaban lainnya. Kita jangan asing di rumah sendiri, maka kalau kita asing dengan filosofi kita sendiri, bukti bahwa kita belum menemukan jati diri kita. Sehingga kita mau mengembik, berkokok, atau mengerik itu tergantung identifikasi jati diri kita dan peradaban kita. Kalau peradaban kita itu sebagai peradaban macan maka tak pantaslah kita berkokok laksana ayam, dan mengembik seperti kambing. Sudah saatnya peradaban kita mengaum!!!

Wallahu alaam bimuraadihi.

Pesan, 22 Januari 2010

by Ahmad Saifullah


Sumber: http://tanbihun.com

Qona'ah antara teori dan Fakta

Secara maknawi, qonaah berarti menerima apa adanya. Merasa ikhlas dengan kondisi apapun yang dialami. Dalam bahasa jawanya : “nerimo ing pandum”. Secara Istilahi diartikan menerima dengan ketulusan hati atas apa yang telah Allah rezekikan kepada kita, dengan mengambil manfaat sekadar keperluan sebagai jalan untuk melakukan ketaatan kepada sang Khalik [melakukan kewajiban yang telah di perintahkan, dan menjauhi larangan-Nya]. Karena sejatinya Qonaah seperti yang sering diungkapkan para ulama:

وَاْلقَانِعُ غَنِيٌّ وَلَوْ كَانَ جُوْعًا
” Bahwa orang-orang yang mampu dan dapat menerima apa adanya dari Allah atas rezeki-Nya, termasuk golongan orang-orang yang kaya(hati,sifat,dan perbuatan), walaupun suatu saat dia merasakan kelaparan secara fisik.” [1]

Dalam sudut pandang tertentu, qonaah sering disalah artikan sehingga menjadi pemicu sebuah kemunduran, terganjalnya proses perkembangan seseorang ke tingkatan yang lebih baik/tinggi dalam berbagai aspek kehidupan.

Memang tidak salah kalau qonaah diartikan menerima apa adanya, tapi tidak berhenti sampai disini. Sikap qonaah menuntut siapa saja untuk selalu bermuhasabah, introspeksi, seberapakah kemampuan dirinya, sehingga ia hidup secara wajar dan tidak melampaui batas. Selanjutnya diperlukan adanya syukur, tasyakkur dan tafakkur. Syukur sebagai perwujudan menerima apa adanya atas karunia Tuhan, tasyakkur merupakan cerminan dari kelapangan hati dan kesabaran, sedangkan tafakkur sebagai wujud evaluasi diri untuk mengubah pola hidup yang selama ini ‘mungkin’ telah jauh menyimpang.

Contoh kecilnya di saat kita sedang merintis usaha, membuka perniagaan dan suatu ketika barang/jenis perniagaan yang kita jual sedang mengalami penurunan drastis. Dalam kondisi seperti ini, langkah pertama yang harus kita lakukan adalah: Ikhlas, kemudian bersyukur, “Alhamdulillah, dengan kesempitan ini Ya Allah Engkau ingatkan aku, Kau jadikan aku lebih mendekat kepada-Mu”. Langkah selanjutnya adalah tafakkur: Evaluasi.

Kenapa orang-orang seakan menjauh dari tokoku, apakah karena tempat ini terlalu kotor sehingga tidak menarik keinginan para pembeli, apa karena harga jualku terlalu mahal, atau barangkali dari pelayanan kita yang tidak disukai pembeli???Evaluasi ini dilakukan sehingga dari situ lahirlah perbaikan-perbaikan, yang akan membawa dua manfaat sekaligus; Ibadah kita semakin tenang (khusyu’), urusan dunia semakin lancar dengan tidak menyalahkan orang lain.

Salah satu sebab yang membuat hidup ini tidak tentram adalah terpedayanya diri kita kepada kecintaan akan harta dan dunia. Orang yang terpedaya harta akan senantiasa merasa tidak cukup dengan apa yang dimilikinya. Akibatnya, dalam dirinya lahir sikap-sikap yang mencerminkan bahwa ia sangat jauh dari rasa syukur kepada Allah Sang Maha Pemberi rezeki.

Orang-orang yang cinta dunia akan selalu terdorong untuk berburu segala keinginannya, meski harus menggunakan segala cara: licik, bohong, atau mengurangi timbangan. Ia juga tidak pernah menyadari, sesungguhnya harta hanyalah ujian. Ketentraman hidup sesungguhnya hanya dapat diraih melalui penyikapan yang tepat terhadap harta dan dunia, sekecil dan sebesar apa pun harta yang dimilikinya. Orang yang qanaah hidupnya senantiasa bersyukur. Makan dengan garam akan terasa nikmat tiada terhingga, karena ia tidak pernah berpikir tentang daging yang tiada di hadapannya. Makan dengan sayur kangkung atau daging akan sangat disyukurinya. Ia pun akan berusaha untuk membagi kenikmatan yang diterimanya itu dengan keluarga, kerabat, teman atau pun tetangganya, karena ia ingat pada orang-orang yang hanya bisa makan dengan garam saja.

Bukan Fatalis

Meski demikian, orang-orang yang memiliki sikap qanaah tidak berarti fatalis (menerima nasib begitu saja) tanpa ikhtiar. Orang-orang qanaah bisa saja memiliki harta yang sangat banyak, bahkan memiliki banyak sekali perusahaan, namun semua itu bukan untuk menumpuk kekayaan. Kekayaan dan dunia yang dimilikinya ia sikapi dengan rambu-rambu Allah SWT, sehingga apa pun yang dimilikinya tidak pernah melalaikannya dari mengingat Sang Maha Pemberi rezeki.

Ketika berusaha mencari dunia, orang-orang qanaah menyikapinya sebagai sebuah ibadah yang mulia di hadapan Allah Yang Mahakuasa, sehingga ia tidak berani berbuat licik, berbohong, ataupun mengurangi timbangan. Karena ia yakin, tanpa menghalalkan segala cara pun ia tetap akan mendapatkan rezeki yang dijanjikan Allah. Ia menyadari, posisi rezeki yang dicarinya tidak akan melebihi dari tiga hal.

Pertama, rezeki yang ia makan hanya akan menjadi kotoran.

Kedua, rezeki yang ia pakai hanya akan menjadi benda usang.

Ketiga, rezeki yang ia nafkahkan(Shodaqah) akan bernilai di hadapan Allah. Karenanya, ia pun lebih dahulu mementingkan seruan Rabbnya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru kepada kamu sekalian untuk melakukan shalat di Hari Jumuah, bersegeralah untuk mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagi kamu jika kamu sekalian mengetahuinya” (QS. Al-Jumu’ah:9)

Tetapi jika ia telah sampai pada keadaan itu, ia juga tidak lantas terjebak dengan kenikmatan berkhalwat dengan Allah, karena ia menyadari, masih ada aturan Allah yang mewajibkannya untuk beraktivitas kembali.

“Dan apabila telah selesai melaksanakan shalat, maka bertebaranlah kamu semua di muka bumi dan carilah karunia Allah serta ingatlah Allah sebanyak-banyaknya, supaya kamu sekalian beruntung” (QS. Al-Jumu’ah:10).

Niat yang lahir dari hati orang-orang yang qanaah ketika melakukan aktivitas pencarian dunia bukan didasarkan pada penumpukan kekayaan untuk ia nikmati sendirian, namun benar-benar didasarkan pada ibadah. Orang-orang qanaah akan mencari harta dan dunia untuk membekali dirinya agar lebih kuat dalam beribadah. Ia akan berpikir, bukankah Allah lebih mencintai mukmin yang kuat dibanding mukmin yang lemah?

Pencarian harta dan dunia yang dilakukannya juga dimaksudkan untuk menafkahi keluarganya agar tidak terjatuh pada jurang kefakiran, menyantuni orang lain, dan agar tidak membebani orang lain ketika Allah menimpakan kesulitan kepada dirinya. Ia akan terus teringat:

كََادَ الْفَقْرُ أَنْ يَكُوْنَ كُفْرًا
“Kefakiran dapat mendekatkan diri pada kekufuran.”

Niat orang-orang qanaah ketika mencari harta juga didasarkan pada keharusannya menguasai ilmu pengetahuan. Ia tidak akan pernah merasa sayang dengan harta dan dunia sepanjang ia menggunakannya untuk makin bertambahnya ilmu pengetahuan. Ia yakin, hanya dengan memiliki ilmulah ia dan keluarganya akan merasa tentram dalam beribadah dan bermuamalah.

Qana’ah (rela atas segala pemberian Allah SWT), adalah suatu yang sangat berat untuk dilakukan, kecuali bagi orang yang diberikan taufiq dan mendapat petunjuk serta dijaga oleh Allah Yang MahaKuasa dari keburukan jiwa, kebakhilan dan ketamakannya. Karena manusia diciptakan dalam keadaan memiliki rasa cinta terhadap kepemilikan harta. Namun, meskipun demikian kita dituntut untuk memerangi hawa nafsu supaya bisa menekan sifat tamak dan membimbingnya menuju sikap zuhud dan qana’ah.

Berikut ada beberapa kiat menuju qana’ah,yaitu:

1. Memperkuat keimanan kepada Allah SWT

2. Yakin bahwa rizki telah tertulis

Seorang muslim yakin bahwa rizkinya sudah tertulis sejak dirinya berada di dalam kandungan ibunya. Sebagaimana hadits dari Ibnu Mas’ud RA, disebutkan sabda Rasulullah SAW:

ثُمَّ يُبْعَثُ اِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيُؤْذَنُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ فَيَكْتُبُ رِزْقَهُ وَأَجَلَهُ وَعَمَلَهُ وَشَقِيٌّ أَمْ سَعِيْدٌ
“Kemudian Allah SWT mengutus kepadanya (janin) seorang malaikat lalu diperintahkan menulis empat kalimat (ketetapan), maka ditulislah rizkinya, ajalnya, amalnya, celaka dan bahagianya.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad)

3. Memikirkan Ayat-Ayat Allah

Amir bin Abdi Qais pernah berkata, “Empat ayat di dalam Kitabullah yang apabila aku membacanya di sore hari,maka aku tidak akan peduli atas apa yang akan terjadi padaku sore itu, dan apabila aku membacanya di pagi hari, maka aku tidak akan peduli dengan apa Aku akan berpagi-pagi, ayat-ayat itu diantaranya:

a. Surah Fathir : 2

مَايَفْتَحِ اللهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
2. Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, Maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah Maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

b. Surah Yunus ayat: 107

وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللهُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ اِلاَّ هُوَ وَاِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلاَ رَادَّ لِفَضْلِهِ

يُصِيْبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

107. Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, Maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, Maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

c. Surah Huud ayat: 6

وَمَامِنْ دَابَّةٍ فِى اْلاَرْضِ إِلاَّ عَلىَ اللهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِىْ كِتَابٍ مُّبِيْنٌ
6. Dan tidak ada suatu binatang melata[709][2] pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya[710][3]. semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).

d.Surah Asy-Syuura ayat 27[4]:

وَلَوْ بَسَطَ اللهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِى اْلاَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيْرٌ بَصِيْرٌ
27. Dan Jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha melihat.

e. Surah Ath-Thalaq : 7

لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ , وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا ءَاتَاهُ اللهُ, لاَيُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَا ءَاتَاهَا سَيَجْعَلُ اللهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
7. Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.

4. Ketahui Hikmah Perbedaan Rezeki

Diantara hikmah Allah menentukan perbedaan rezeki dan tingkatan seorang hamba dengan lainnya adalah supaya terjadi dinamika kehidupan manusia di muka bumi, saling tukar-menukar manfaat, tumbuh aktifitas perkonomian, serta agar antara satu dengan yang lain saling memberikan pelayanan dan jasa.

5. Banyak memohon doa kepada Allah SWT semoga kita selalu qonaah.

Rasulullah adalah manusia yang paling qana’ah, ridha dengan apa yang ada dan paling banyak zuhudnya. Beliau juga seorang yang paling kuat iman dan keyakinannya, namun demikian beliau masih meminta kepada Allah diberikan rasa qana’ah, beliau berdoa:

“Ya Allah berikan Aku sifat qana’ah terhadap apa yang telah engkau rizkikan kepadaku, berkahilah pemberian itu dan gantilah segala yang luput (hilang) dariku dengan yang lebih baik.” (HR. Al-Hakim)

Dan karena saking qana’ahnya beliau tidak meminta kepada Allah melainkan sekedar cukup untuk kehidupan saja, dan meminta disedikitkan dalam dunia (harta) sebagaimana sabda beliau:

مِنْ تَمَامِ النِّعْمَةِ أَنْ يَرْزُقَكَ مَا يَكْفِيْكَ وَيَمْنَعُكَ مَا يُطْغِيْكَ
Setengah daripada kesempurnaan nikmat Allah: berikanlah rezeki kepada kami(Muhammad SAW) hanyalah cukup sesuai dengan keperluan pokok saja, dan jauhkanlah apa yang bisa menyebabkan Engkau tidak ridlo dari atas apa karunia-Mu.[5]

6. Menyadari bahwa rizki tidak diukur dengan kepandaian

Kita harus menyadari bahwa rezeki seseorang itu tidak bergantung kepada kecerdasan akal semata, kepada banyaknya aktifitas, keluasan ilmu, meskipun dalam sebagiannya itu merupakan sebab datangnya rizki, namun bukan ukuran secara pasti.

Kesadaran tentang hal ini akan menjadikan seseorang bersikap qana’ah, terutama melihat orang yang lebih bodoh, pendidikannya lebih rendah dan tidak berpengalaman mendapatkan rezeki lebih banyak daripada dirinya, sehingga tidak memunculkan sikap dengki dan iri. Sebagaimana dalam surah Az-Zumar ayat: 49, dijelaskan:

فَإِذَا مَسَّ اْلاِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَانَا ثُمَّ إِذَا خَوَّلْنَاهُ نِعْمَةً مِّنَّا قَالَ إِنَّمَا أُوْ تِيْتُهُ عَلىَ عِلْمٍ,
بَلْ هِيَ فِتْنَةٌ وَّلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لاَيَعْلَمُوْنَ
49. Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata: “Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku”. sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui.

7. Melihat ke bawah dalam hal dunia

Dalam urusan dunia hendaknya kita melihat kepada orang yang lebih rendah, jangan melihat kepada orang yang lebih tinggi, sebagaimana sabda Rasulullah:

أُنْظُرْ إِلىَ مَنْ هُوَ تَحْتَكَ, وَلاَ تَنْظُرْ إِلىَ مَنْ هُوَ فَوْقَكَ, فَإِنَّهُ أَجْدَرَلَكَ أّلاَّ تَزْدَرِيْ نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكَ
“Lihatlah kepada orang yang lebih rendah dari kamu dan janganlah melihat kepada orang yang lebih tinggi darimu. Yang demikian itu lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jika saat ini anda sedang sakit maka yakinlah bahwa selain anda ada lagi lebih parah sakitnya. Jika anda merasa fakir maka tentu di sana masih ada orang lain yang lebih fakir lagi, dan seterusnya.

8. Membaca kehidupan para shahabat dan orang-orang terdahulu

Yakni melihat bagaimana keadaan mereka dalam menyikapi dunia, bagaimana kezuhudan mereka, qana’ah mereka terhadap yang mereka peroleh meskipun hanya sedikit. Di antara mereka ada yang memperoleh harta yang melimpah, namun mereka justru memberikannya kepada yang lain dan yang lebih memerlukannya.

9. Menyadari betapa beratnya pertanggungjawaban harta

Bahwa harta akan mengakibatkan keburukan dan bencana bagi pemiliknya jika dia tidak mendapatkannya dengan cara yang baik serta tidak membelanjakannya dalam hal yang baik pula. Ketika seorang hamba ditanya tentang umur, badan, dan ilmunya maka hanya ditanya dengan satu pertanyaan yakni untuk apa, namun tentang harta maka dia dihisab 2 kali, yakni dari mana dia dapat dan kemana dia belanjakan.

Hal ini menunjukan betapa beratnya orang yang diberi amanat harta yang banyak sehingga dia harus dihisab lebih lama dibandingkan orang yang lebih sedikit hartanya.

10. Melihat realita bahwa orang fakir dan orang kaya tidak jauh berbeda

Karena orang yang kaya tidak mungkin memanfaatkan seluruh kekayaannya dalam satu waktu sekaligus. Kita perhatikan orang yang paling kaya di dunia ini, dia tidak makan kecuali sebanyak yang dimakan orang fakir, bahkan mungkin lebih banyak yang dimakan oleh orang fakir. Tidak mungkin si kaya makan lebih dari 50 piring, meskipun dia mampu untuk membeli dengan hartanya. Andaikan si kaya memiliki seratus potong baju maka si kaya hanya memakai sehelai baju saja, bukankah hal ini sama dengan yang dipakai oleh orang fakir, dan harta selebihnya yang tidak ia manfaatkan maka itu relative (nisbi).

Sungguh indah apa yang diucapkan sahabat rasul Abu Darda RA: “Para pemilik harta makan dan kami juga makan, mereka minum dan kami juga minum, mereka berpakaian dan kami juga berpakaian, mereka naik kendaraan dan kamipun naik kendaraan. Mereka memiliki kelebihan harta yang mereka lihat dan dilihat juga oleh selain mereka, lalu mereka menemui hisab atas harta itu sedangkan kita terbebas darinya.”

Dengan demikian, semoga dalam mengarungi kehidupan di alam yang fana ini, kita senantiasa diberikan rasa qanaah atas segala limpahan karunia-Nya, serta di hindarkan dari perbuatan rakus yang pada akhirnya dapat terjerumus ke dalam siksa-Nya.

Wallahu A’lam.

Syari’at, Thariqat dan Hakikat (Tasawuf Amali)

Ada satu kesatuan hubungan yang tidak mungkin bisa dipisahkan antara Syari’at, Thariqat dan Hakikat. Ketiganya itu di ibaratkan sebuah kelapa. Syari’at adalah kulitnya, Thariqat isinya dan Hakikat adalah minyaknya. Syaikh Ahmad Rifa’i mengisyaratkan bahwa sesungguhnya setiap muslim mukallaf itu wajib kembali kepada ketiganya sebagai keharusan yang wajib dalam beribadah kepada Allah. Syari’at adalah berisi KAIFIYAT dan tata cara beribadah kepada Allah, menyatakan rukun-rukun dengan syarat-syarat yang wajib bagi sahnya ibadah, juga mengerjakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan kemungkaran. Thariqat mengisyaratkan keikhlasan niat hati karena Allah. Dan Hakikat adalah gambaran bagaimana menghendaki dan mendapatkan rahmat, karunia dan pertolongan Allah.

Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa ajaran-ajaran tasawuf Ahmad Rifa’i RA, yang diajarkan kepada individu-individu orang Islam adalah gambaran tasawuf amali, bukan tasawuf nadhari dan bukan pula tasawuf falsafi. Maka didalamnya tidak terdapat sejenis pandangan wahdatul wujud yang di ajarkan oleh Hamzah Fansuri yang pertama kali di Aceh pada abad ke 19 yang diikuti dengan ajaran “Manunggaling Kawulo Gusti” dalam istilah Jawa oleh Syekh Siti Jenar, dan barangkali yang di tolak Ahmad Rifa’i dari wahdatul wujud adalah cita-citanya yang tinggi untuk merubah pikiran kebanyakan orang islam (Jawa) pada waktu itu., karena banyak orang Jawa saat itu yang telah ter- infiltrasi “manunggaling kawulo gusti” yang disebarkan oleh Syekh Siti Jenar tersebut yang pada abad ke 16- 17 itu banyak mewarnai kehidupan orang Jawa (kaum abangan). sesuai pernyataan C. Poensen, bahwa umat Islam saat itu tidak mengenal Islam kecuali hanya tentang khitan, puasa dan larangan makan daging babi (Brieven Over Der Islam Uit De Binnen Landen Van Java, Leiden Brill 1886.)

Thariqat juga bermakna keikhlasan hanya karena Allah, Syaikh Ahmad Rifa’i RA ingin menghilangkan taqlid yang menjurus kepada kesyirikan yang banyak terjadi khusunya di pualu Jawa.


sumber:http://tanbihun.com

Definisi Makrifat dan Penjelasannya

Ma’rifat menurut pemikiran Ahmad Rifa’i yaitu berfikir akan kekuasaan Allah atau suasana hati yang menggambarkan menuju kedekatan hamba dengan Tuhannya. Ma’rifat menurut makna dhahirnya adalah seseorang menunaikan kewajiban-kewajiban agama yang sesuai dengan syara’ serta keikhlasan hati dalam beribadah semata- mata karena Allah. Orang yang telah ma’rifat ketika dipuji oleh orang mukmin karena kebaikannya, maka bertambah imannya dan bersyukur kepada Allah, dan tatkala dihina dan dinista, tidak menjadi runtuh semangat dan ibadahnya kepada Allah, karena ia benar- benar telah meyakini bahwa apapun yang terjadi pada dirinya dan alam semesta ini adalah atas QUDRAT- IRODAT- dan ILMU Allah semata, dan semua sudah sesuai dengan apa yang tertulis di Lauh Mahfudh.

Mendekatkan Diri Kepada Allah Dan Melihat Allah

Orang mukmin yang sejati wajib memberikan apa yang dia mampu untuk mencari jalan (jalan= Thoriqot) untuk mendekatkan dirinya kepada Allah, maka dia wajib merambah jalan menuju ma’rifat. Jalan terbaik yang dimaksud adalah dengan : ”Melakukan segala perintah wajib dan meninggalkan segala larangan”.(Lihat kitab: Thoriqoh). Maka dengan menghiasi hati dengan sifat- sifat terpuji dan menjauhkan diri dari segala sifat tercela dan selalu Tafakkur, maka berarti ia akan sampai pada jalan makrifatullah.

Orang yang telah sampai pada derajat Makrifatullah, telah dianggap dekat kepada Allah ketika perbuatannya menjadi sangat baik dan hatinya tidak henti-hentinya berfikir tentang sifat Allah yang menjadikan rasa takut (Khouf) sebagai cambuk untuk tingkah lakunya dan rasa cinta (Mahabbah) sebagai kendali dalam imannya, sebagai petunjuk kepada Allah dalam mencari keridlaan Nya.

Menurut Syeikh Rifa’i bagaimanapun juga seorang hamba sampai kepada derajat tertinggi dalam ma’rifatnya dan telah sanggup mendekatkan diri kepada Allah dengan segala pengabdiannya,mereka tetap saja takkan mungkin dapat melihat dzatnya Allah. Karena Dzat Allah hanya akan dapat dilihat “Bagaikan Bulan Purnama” di sorga nanti bagi para penghuni sorga.

Hamba yang dapat melihat di dunia ini satu-satunya hanyalah Nabi Muhammad SAW. Itupun tatkala beliau Mi’roj kelangit, bukan didunia ini. Manusia selain Muhammad tidak akan bisa melihat dengan penglihatan mata kepala dan tidak akan dapat melihat Dzat Allah kecuali bagi golongan para nabi dan rasul yang mempunyai sifat-sifat istimewa.

Antara Hatiku, Hatinya dan Hati Mereka

Tidak dinamakan hati kecuali karena sering berbolak-balik. hati selalu bergerak dinamis, hari ini menerima besok berubah gusar, detik ini lembut bak sutra didetik yang lain kasar laksana batu karang, semua bisa berubah kapan saja tak ada jaminan kekekalan atas apa yang terlintas didalam hati.

Pun halnya dengan sebuah hubungan, baik hubungan yang teridentifikasi sebagai hubungan keluarga, persahabatan, bisnis maupun kekasih, semua akan mengalami pasang-surut, ada masa-masa dimana hati dengan suka rela menerima apapun perlakuan orang yang disayanginya, hingga hati mampu bertahan saat orang yang disayanginya menyakitinya. Namun akan tiba saatnya dimana hati akan berbalalik arah ketika penerimaan dan kesabarannya mulai menipis, disaat itulah hati sadar, bahwa setiap hati itu bisa saja berubah.

Orang yang paling dekat suatu saat bisa saja menjadi orang yang sangat membenci kita, sahabat dekat bisa berubah menjadi musuh, kekasih bisa menjadi orang yang memusuhi kita nomor wahid, semakin dekat dia dengan kita potensi untuk menjadi musuh terburuk semakin besar. Jika kita mendapati hati yang mulai memposisikan dirinya sebagi “musuh”, janganlah berlebihan ketika dalam hatimu mulai tumbuh kebencian, karena suka dan benci tak ada bedanya dipandang dari sudut perlakuan kita, kita harus memperlakukannya sama, yaitu sedang-sedang saja, sebagaimana peribahasa arab mengatakan ;

“ahbib habiibaka haunan maa ‘asaa an takuuna baghiidhoka yauman maa, wa abgidh bagiidhoka haunan maa ‘asaa an takuuna habiibaka yauman maa”.

Cintailah kekasihmu sekedarnya saja, karena bisa jadi dia akan menjadi musuhmu suatu saat nanti, dan bencilah musuhmu sekedarnya saja, karena bisa jadi dia akan menjadi kekasihmu suatu saat nanti.

Selama kita masih hidup dikolong langit, takkan pernah bisa mematenkan keadaan hati kita maupun hati orang-orang yang berada dikehidupan kita. Jika demikian, janganlah kita terpukau dan terlena dengan kucuran kebaikan dari orang lain, juga jangan kita terpuruk kala keburukan dilemparkan orang baik lewat mulut maupun perlakuannya kepada kita. Posisikan hati kita untuk menagkapnya sebagai hal yang sama, sama-sama tidak abadi, bersama perjalanan sang waktu dua sifat itu akan berubah.


sumber:http://tanbihun.com

Islam VS Klenik Arab & Jawa

Suatu saat, Muawiyah bin Abi al-Hakam berkata kepada Rasul saw., “Kami melakukan beberapa hal pada masa jahiliyah. Kami mendatangi dukun.” Lantas Rasul saw. bersabda, “Janganlah kamu mendatangi dukun.” Muawiyah berkata lagi, “Dan kami juga melakukan tathayyur.” Beliau bersabda, “Itu hanyalah perasaan di dalam hati seseorang di antara kalian. Maka janganlah hal itu menghalangi-halangi kalian.” (HR. Ahmad)

Itulah salah satu potongan episode sejarah Islam yang sangat penting ketika Islam tengah menawarkan pencerahan keyakinan dan akal kepada umat manusia. Dalam kisah tadi, kita melihat seorang sahabat menanyakan sebagian dari sisi-sisi kegelapan jahiliyah Arab, yakni dunia perdukunan dan tathayyur. Terhadap perdukunan, Nabi saw. melarang mendatangi dukun dan terhadap masalah tathayyur, Nabi saw. menegaskan bahwa itu hanyalah perasaan-perasaan hati yang tidak perlu dirisaukan dan jangan sampai menghalangi seseorang untuk melakukan aktivitasnya.

Dalam Syarh Shahih Muslim (5/22) Imam Nawawi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan definisi dukun (kahin/’arraf) adalah orang yang mengaku-ngaku mengetahui peristiwa yang akan terjadi, rahasia-rahasia gaib, dan keberadaan benda-benda yang hilang atau dicuri. Maka siapa saja yang kriterianya seperti tadi, apapun lebelnya dan jabatannya, ia termasuk dukun yang dilaknat agama Islam. Islam telah memerangi perdukunan karena ia akan menumpulkan akal pikiran manusia. Jika terjadi sesuatu, selalu dikaitkan dengan sesuatu yang supranatural, walaupun hanya dengan terkaan-terkaan tanpa ada dasarnya. Memang unsur yang utama dalam hal ini adalah percaya dan tidak percaya. Jika kamu ingin masuk perdukunan, hilangkanlah akal sehatmu. Lalu kamu akan menjadi gila tanpa kamu sadari.

Mendatangi dukun adalah dosa besar dan menyebabkan shalat tidak diterima selama empat puluh hari. Jika membenarkannya, maka Islam telah menganggap hal ini sebagai bentuk kekafiran. Adapun mengenai pelaku perdukunan, banyak ulama telah menghukuminya dengan kafir dan sebagian ulama lagi menghukuminya dengan dosa besar saja.

Lalu apakah yang dimaksud dengan tathayyur ? Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah (12/182) dijelaskan bahwa tathayyur adalah mengangap keberadaan sesuatu yang didengar atau dilihat mengakibatkan timbulnya mala petaka atau sesuatu yang tidak menyenangkan. Mengenai asal usul tathayyur, Imam Nawawi kembali menjelaskan bahwa orang-orang Arab pada zaman jahiliyah ketika ingin melakukan suatu perjalanan, mereka mendatangi sarang burung, lalu mengagetkannya. Jika burung terbang ke kanan, berarti itu pertanda baik. Dan jika burung terbang ke kiri, berarti pertanda buruk. Termasuk sejenis dengan ini adalah perhitungan hari-hari nahas. Misalnya mempercayai hari-hari tertentu berdasarkan perhitungan primbon Jawa sebagai hari yang buruk. Termasuk juga ramalan astrologi dan horoskop.

Semua kepercayaan itu dilarang dalam agama Islam. Dan jika hati kita merasakan tidak enak karena hal-hal tersebut, maka sesungguhnya itu hanyalah perasaan saja dan janganlah menghalangi kita untuk melakukan aktivitas yang harus kita kerjakan.

Itulah dua sisi kegelapan jahiliyah dari kegelapan-kegelapan yang lain yang telah diperangi Islam sejak awal. Lantas, bagaimana dengan masyarakat Islam saat ini, terutama masyarakat Islam Jawa? Sebagaimana yang kita ketahui bersama, masyarakat Jawa adalah masyarakat yang sangat kental dengan dunia klenik. Kepercayaan-kepercayaan terhadap hal-hal seperti itu telah mendarah daging dalam diri masyarakat Jawa. Menurut data-data yang valid, Islam datang di bumi Nusantara sudah mulai abad VII Masehi. Namun, sampai saat ini, masih saja kita saksikan maraknya perdukunan dan kepercayaan-kepercayaan yang berbau tathayyur. Sehingga pantaslah beberapa ahli menyimpulkan bahwa agama apa saja boleh masuk ke Jawa, tetapi keyakinan Jawa harus tetap ada. Kita banyak menemukan praktik-praktik keagamaan yang mencampurkan antara Islam dan Jawa atau yang sering diistilahkan dengan sinkretisme. Dan seringkali jika diberitahu tentang ajaran Islam yang murni, mereka mengatakan itu berlaku di dunia Arab. Adapun Jawa punya keyakinan dan tradisi yang tersendiri. La haula wa la quwwa illa billah!

Wahai pembaca, janganlah kita menganggap masalah ini sebagai masalah yang sepele. Nabi saw. diutus di tengah-tengah masyarakat yang sangat kental dengan dunia klenik. Tetapi, kemudian Nabi saw. membimbing mereka ke jalan yang benar. Beliau memberikan pencerahan akal dan pikiran mereka. Beliau mengarahkan agar mereka mendayagunakan akal mereka dengan sebaik-baiknya. Adapun urusan-urusan gaib, cukup kita ketahui melalui wahyu dan itu lebih terjamin kebenarannya. Apakah kita menginginkan masyarakat Islam tetap berlakang? Allah swt. berfirman,

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (al-Isra: 36)

Oleh : Muhammad Abidun Zuhri


sumber: http://tanbihun.com

Mujahadah: The Struggle of Life

Tingkatan (Maqam) yang ke-5 dalam konsep tasawuf adalah Mujahadah yaitu bersungguh-sungguh. Secara istilah mujahadah dapat diartikan sebagai satu bentuk kesungguhan untuk menjalankan perintah Allah dengan memenuhi segala kewajiban dan menjauhi atas larangan-Nya; secara lahir dan bathin dengan wujud nyata berupaya melawan (menundukkan) hawa nafsu.[1] Dalam sebuah hadisnya, Rasul SAW bersabda:


مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِيْ طَاعَةِ اللهِ
“Seorang Mujahid (orang yang berjihad) ialah dia yang melawan hawa nafsunya karena Allah SWT”[2]. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin mengatakan bahwasanya di antara tanda kecintaan seorang hamba kepada Allah yaitu dia mengutamakan perkara yang di sukai-Nya daripada mengutamakan kehendak nafsu pribadinya. Sejalan dengan ungkapan indah Abdullah Ibnu Mubarak:”Jika cintamu benar, kamu akan menaati-Nya, karena seseorang yang mencintai sesuatu sanggup menaati sesuatu”. Orang-orang yang sanggup melawan hawa nafsu adalah mereka yang beriman kepada Allah dan hari akhir, inilah kekuatan yang ada dalam diri umat Islam. Kepercayaan ini menjadikan mereka sebagai golongan yang sanggup untuk menghindari kenikmatan sesaat demi mendapatkan kebahagian jangka panjang yang kekal nan abadi yaitu kebahagian akhirat. Denis Waitley dalam Empires of The Mind berkata: “Saya berpendapat, salah satu faktor utama yang menyebabkan Amerika bermasalah pada hari ini adalah, karena rakyatnya begitu asyik dan gairah dengan kesenangan jangka pendek dan melupakan jangka panjang”.

Isyarah ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam surah Al-Ankabut ayat 69:


وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ
“Dan Orang-orang yang berjihad di jalan Kami, pasti akan kami tunjukkan kepadanya jalan-jalan Kami, Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.

Berkaitan dengan ayat diatas, Imam Ad-Darani berkata:”Mereka yang bermujahadah berdasarkan ilmu yang diketahui, maka akan di tunjukkan oleh Allah tentang perkara yang belum diketahui”. Fudhail al-Iyadh mengatakan: “Orang-orang yang bermujahadah untuk mencari ilmu, Allah akan tunjukkan kepadanya jalan untuk beramal”. Junaid al-Baghdadi berkata: “Mereka yang bermujahadah dengan bertaubat, maka Allah akan menunjukkan kepadanya jalan keikhlasan”, dan sahabat rasul SAW Abdullah Ibnu Abbas RA pernah mengatakan:”Orang-orang yang bermujahadah untuk melakukan ketaatan, Allah akan tunjukkan kepada mereka jalan pahala dan keagungan rahmat-Nya”.

Para ulama tasawuf sangat menekankan arti pentingnya mujahadah untuk mencapai martabat tertinggi dalam rangka menggapai derajat mulia di sisi-Nya, salah satunya dengan mujahadah (kesungguhan). Tanpa mujahadah seseorang tidak akan pernah tercapai apapun yang ia lalui dalam kehidupannya. Mujahadah di lakukan semata-mata untuk taqarrub (mendekatkan) dirinya kepada Allah SWT, bukan untuk mencapai kasyaf, karamah atau untuk mencapai berbagai maqamat (tingkatan) demi kepentingan individu ataupun yang bersifat duniawi, melainkan semata-mata hanya untuk mengharap ridha Allah SWT, sehingga dapat tercapai hakikat tauhid uluhiyyah dan tauhid rububiyah yang sebenarnya. Oleh sebab itu, dalam amalan tasawuf sering dilahirkan berbagai ungkapan, baik dalam bentuk doa ataupun munajat, seperti:


ِإلَهِيْ أَنْتَ مَقْصُوْدِيْ وَرِضَاكَ مَطْلُوْبِيْ , أَعْطِنِيْ مَحَبَّتَكَ وَ مَعْرِفَتَكَ
“Ya Allah, Wahai Tuhanku! Engkau adalah yang kutuju, dan hanya keredhaan-Mu lah yang sentiasa kucari, anugerahkanlah padaku rasa untuk selalu mencintai-Mu dan selalu mengingat dalam setiap denyut nadiku”.

Imam al-Ghazali mengatakan, dalam setiap maqam (Tingkatan) terdiri dari tiga perkara untuk bisa dikatakan mencapai kesempurnaan, yaitu: ilmu, amal dan hal (nur). Ilmu dicapai melalui pembelajaran dan pengkajian, setelah diperoleh wajib untuk di amalkan, kemudian pengamalan yang jujur, sungguh-sungguh serta istiqomah akan membuahkan hal (nur=cahaya) bagi dirinya dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Inilah makna yang tersirat dalam pemahaman ayat diatas.

Manusia mempunyai lima unsur terpenting dalam dirinya, yaitu:

1. Ruh

2. Qalbu (Hati)

3. Hawa Nafsu (Syahwat)

4. Jasad

5. Anggota Badan

Peranan kelima unsur tersebut diatas, bisa kita umpamakan sebuah kerajaan dimana Ruh sebagai Sultan, Qalbu adalah Singgasananya, Hawa Nafsu musuh dalam selimut (musuh dalaman), Jasad kita artikan sebagai wilayah kekuasaan dan anggota badan adalah rakyatnya.

Di antara kelima unsur ini selalu wujud persaingan antara Ruh=Sultan, yang ingin memerintah dengan adil dan bijaksana, dan Nafsu=musuh yang datang umpama “duri dalam daging” yang berusaha untuk menzalimi rakyat, serta memiliki hasrat untuk menghancurkan wilayah kekuasaan dan pemerintahan sultan/jasad. Oleh karena itu, sultan di mohon untuk selalu waspada terhadap rancangan serta selalu memantau segala tindakan musuh yang akan menzalimi rakyat, ataupun bertindak anarkis untuk menghancurkan wilayah kekuasaan dan merebut tahta sang sultan.

Dari sini kita tahu bahwa semua aktivitas ruh terhadap hawa nafsu ini kemudian di namakan mujahadah, dengan kata lain ruh harus selalu bermujahadah ke atas hawa nafsu supaya nafsu tidak mengganggu atau dapat mempengaruhi anggota badan dengan perbuatan-perbuatan yang di larang oleh syari’at. Selain itu, karena supaya Qalbu tidak di usik dengan sifat-sifat tercela. Pada waktu yang sama, ruh akan berusaha meningkatkan kualitasnya sendiri agar ia selalu dihiasi dengan sifat-sifat yang mulia yang akan terpancar dan kembali memberikan pengaruh kepada Qalbu, Jasad dan anggota badan.

Imam Ibnu al-Qayyim dalam hal ini pernah berkata: “Allah menggantungkan hidayah dengan melakukan jihad. Maka orang yang paling sempurna hidayah-Nya adalah dia yang paling besar perilaku jihadnya. Jihad yang paling utama adalah jihad melawan nafsu, keinginan buruk (syahwat), bujukan syaitan, dan melawan rayuan duniawi.

Siapa yang bersungguh-sungguh dalam jihad melawan keempat hal tersebut, maka Allah akan menunjukkan padanya jalan ridha-Nya, yang akan mengantarkannya ke pintu surga-Nya. Sebaliknya, siapa yang meninggalkan jihad, maka ia akan sepi dari hidayah-Nya”. Sebagaimana dalam Al-Quran di sebutkan:


وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْ وَى
Artinya:

“ Dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka Sesungguhnya Syurgalah tempat tinggal(nya)”.

Mujahadah diri (mujahadah al-nafs) adalah perjuangan sungguh-sungguh atau jihad melawan egoisme (nafsu pribadi). Mengapa jihad atau perang melawan hawa nafsu sendiri menjadi sesuatu yang penting? Seandainya kita telusuri dari sudut pandang normatifnya, jelas karena agama sangat menganjurkan perilaku atau amaliah dalam kehidupan ini. Maka wajar, sampai Rasul SAW menyebutnya perang melawan hawa nafsu merupakan jihad akbar, yang nilainya lebih utama dibanding jihad memerangi orang-orang kafir; yang sering disebut oleh beliau sebagai jihad kecil(al-jihad al-asghar). Sebagaimana dalam Kitab Riayah Akhir karangan Syeikh Ahmad Rifa’I dalam halaman terakhir dari Korasan 19 dikatakan:


قَالَ النَّبِيُّ : رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ الأصْغَرِ إِلىَ جِهَادِ الأَكْبَرِ ,
قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا الْجِهَادُ اْلأَكْبَرِ؟ قاَلَ اَلْجِهَادُ فِى النَّفْسِ

“Nabi SAW bersabda: Telah kembalilah kita dari sebuah perlawanan yang kecil (perang Badar dengan orang Kaum Kafir Quraisy waktu itu), menuju peperangan yang agung, bertanyalah para sahabat: Ya Rasulallah, apa yang engkau maksudkan peperangan yang besar, rasul menjawab: Perang melawan hawa nafsu”.

Jika kita telaah secara hakiki, hawa nafsu merupakan poros kejahatan (ma’wa kulli syarrin). Karena nafsu memiliki kecenderungan untuk mencari kesenangan, masa bodoh terhadap hak-hak yang seharusnya wajib ditunaikan, serta mengabaikan terhadap kewajiban-kewajibannya. Siapa pun yang gemar menuruti apa saja yang diinginkan oleh hawa nafsu, maka sesungguhnya ia telah tertawan dan diperbudak oleh nafsunya, karena nafsu itu digemari, disenangi, dicintai, dan itu semua di sebabkan karena semua perbuatan yang mengarah kepada nafsu pasti menyenangkan. Maka sangat beruntung bagi sesiapa yang bisa mematahkan (mengalahkan) hawa nafsunya, dan tetap menjadikan akal fikiran bersihnya sebagai pemimpin dalam setiap aktivitas kehidupannya, sebagaimana yang di ungkapkan oleh Ulama:


طُوْبَى لِمَنْ كَانَ عَقْلُهُ أَمِيْرًا وَهَوَاءُهُ يَكُوْنُ أَسِيْرًا[3]
Artinya:

“ Beruntung sekali kepada siapapun yang bisa menjadikan akal fikirannya sebagai Sultan (mampu memerintah), sehingga hawa nafsunya bisa dikalahkan”.

Mujahadah (Kesungguhan) dapat kita awali dengan cara memusuhi nafsu diri kita, mengangkat tabuh genderang peperangan terhadapnya. Banyak jalan menuju mujahadah, termasuk salah satu contohnya adalah dengan cara merenungi akibat/effect dari kebaikan (natijah al-hasanat) dan akibat/effect kejahatan (natijah al-sayyiat). Allah SWT berfirman:


إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا
“Jika kamu berbuat baik, maka kamu berbuat baik kepada dirimu sendiri. Jika kamu berlaku jahat, maka kamu berbuat jahat pada dirimu sendiri.”

Oleh sebagian ulama ayat ini ditafsirkan bahwa: “Sesungguhnya amal kebaikan melahirkan cahaya dalam kalbu, kesehatan pada badan, kecerahan pada wajah, keluasan pada rezeki, serta kecintaan dari segala makhluk. Adapun kejahatan; sebaliknya, menciptakan kegelapan dalam hati, kesakitan badan, kesuraman wajah, kesempitan rezeki, serta kebencian dari hati segala makhluk.”

Para pelaku tindak kriminal di sekitar kita, seperti para koruptor, pemakai narkoba(dadah), pembunuh, mereka adalah orang-orang yang gagal dalam melakukan mujahadah. Sebaliknya, mereka sentiasa asyik menuruti segala keinginan dan syahwatnya, sehingga tertawan dan diperbudak olehnya. Mereka tidak pernah menyadari tentang buah kejahatan yang akan datang menjelang; cepat atau lambat. Yang mereka pikirkan adalah bayangan semu tentang kenikmatan sesaat nan instan.


Kesan-Kesan Tasawuf

Realitas tertinggi dan amalan yang paling utama di sisi Allah SWT pada hari kiamat adalah orang-orang yang dalam hidupnya selalu memperbanyak zikir kepada-Nya, baik di saat dia berdiri, duduk, berbaring dan dalam berbagai posisi apapun, sejalan dengan Isyarah al-Quran surah Ali Imran ayat 190-191, Allah SWT berfirman:


إِنَّ فِىْ خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَأَيتٍ لِأُولِى اْلألَبْاَبِ
اَلَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ قِيَامًا وَّفُعُوْدًا وَّعَلَى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِىْ خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Artinya:

”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka”.

Orang-orang yang masuk kategori dalam ayat di atas, mereka akan mendapatkan kesan dalam rangka mencapai satu jalan untuk menuju ridha-Nya. Oleh karena itu, ada beberapa manfaat yang bisa di rasakan sebagai upaya sebagai hamba Allah yang sesuai dalam konsep mujahadah[4], diantaranya:

Memperteguh keimanan dan membina jati diri muslim
Menimbulkan kesadaran jiwa
Membina kepribadian dan akhlak mulia
Membentuk hamba yang bertanggung jawab
Mewujudkan persaudaraan, menjaga persatuan dan kesatuan serta menebarkan sifat rahmat bagi sesama manusia.
Ibnu Dahlan el-Madary

PG.Bilal 3.34 UIAM, 15102010:1.00 am

Shollallahu ‘Alaa Muhammad Wa Aalihi

[1] Syeikh Ahmad Rifai, Riayah Akhir, bab ilmu tasawuf, Korasan: 19, halaman 17 baris 9.

[2] Shahih Bukhari, bab Jihad, Juz 20 halaman 154, Hadis ini termasuk dalam peringkat hadis yang Hasan.

[3] Syeh Ahmad Rifai, opcit. Korasan 19 halaman 19 baris 7

[4] Dr. Abdul Manam Bin Mohammad al-Merbawi, Konsep Tasawuf menurut Ahli Sufi.


sumber:http://tanbihun.com/

Filsafat Islam Dan Pengaruhnya Terhadap Ilmu Pengetahuan

Dari segi bahasa, Filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu gabungan dari kata Philo yang artinya cinta, dan Sofia yang artinya kebijaksanaan, atau pengetahuan yang mendalam. Jadi dilihat dari akar katanya, filsafat berarti ingin tahu dengan mendalam atau cinta terhadap kebijaksanaan.

Adapun makna filsafat menurut terminologi adalah berfikir secara sistematis, radikal dan universal, untuk mengetahui hakekat segala sersuatu yang ada, seperti hakekat alam, hakekat manusia, hakekat masyarakat, hakekat ilmu, hakekat pendidikan dan seterusnya. Dengan demikian maka muncullah apa yang disebut filsafat alam, filsafat manusia, filsafat ilmu dan sebagainya.

dalam pada itu perlu juga dijelaskan tentang ciri-ciri berfikir yang filosofis. Yaitu harus bersifat sistematis, maksudnya fikiran tersebut harus lurus, tidak melompat-lompat sehingga kesimpulan yang dihasilkan oleh pemikiran tersebut benar-benar dapat dimengerti. Kedua harus bersifat radikal, maksudnya harus sampai ke akar-akarnya sehingga tidak ada lagi yang tersisa untuk dipikirkan. Ketiga harus bersifat universal yaitu menyelurug, melihat hakekat sesuatu dari hubungannya dengan yang lain dan tidak dibatasi untuk kurun waktu tertentu.

Adapun pengertian Islam dari segi bahasa adalah selamat sentausa, berserah diri, patuh, tunduk dan taat. seseorang yang bersikap demikian disebut Muslim, yaitu orang yang telah menyatakan dirinya taat, menyerahkan diri, patuh dan tunduk kepada Alloh Swt.

Islam menurut terminologi adalah Agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan oleh Alloh kepada manusia melalui nabi Muhammad sebagai Rasul Allah.

dari pengertian-pengertian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Filsafat Islam adalah berfikir secara sistematis, radikal dan universal tentang hekekat segala sesuatu berdasarkan ajaran Islam. Singkatnya filsafat Islam itu adalah Filsafat yang berorientasi kepada Al Qur’an, mencari jawaban mengenai masalah-masalah asasi berdasarkan wahyu Allah.

Jadi ciri utama filsafat Islam adalah berfikir tentang segala sesuatu, dapat berfikir teratur, tidak cepat puas dalam penemuan sesuatu,selalu bertanya dan saling menghargai pendapt orang lain.

Filsafat adalah induknya segala ilmu, sebagai induk segala ilmu, maka filsafat mempengaruhi ilmu-ilmu lainnya, seperti ilmu fiqih, ilmu kalam, tafsir dan sebagainya. Berbicara mengenai hukum fiqih, maka fiqih sendiri bengandung arti mengerti dan memahami. Untuk memahami diperlukan pikiran dan penggunaan akal. Selain itu fiqih juga memakai ijtihad yang pada intinya adalah pemakaian akal untuk dalil-dalil yang bersifat dzonniy dan terhadap kasus-kasus hukum yang tidak jelas atau sama sekali tidak ada dasarnya baik dalam Al Qur’an maupun Al Hadits.

Demikian juga untuk menafsirkan Al Qur’an, menjelaskan hubungan manusia dengan Alloh dalam ilmu Tasawwuf, menjelaskan kandungan hadits, banyak sekali digunakan pemikiran. Dengan demikian filsafat sangat besar pengaruhnya terhadap ilmu pengetahuan.

Korelasi Filsafat islam, Filsafat Yunani dan Ilmu-ilmu Islam

Pengertian Filsafat Islam

Sebelum sampai kepada definisi Filsafat Islam, terlebih dahulu kami akan memberikan makna filsafat yang berkembang di kalangan cendikiawan muslim.

Menurut Mustofa Abdur Razik pemakaian kata filsafat di kalangan umat Islam adalah kata hikmah. Sehingga kata hakim ditempatkan pada kata failusuf atau hukum Al-Islam (hakim-hakim Islam) sama dengan falasifatul Islam (failasuf-failasuf Islam). Hal ini dikuatkan oleh Dr. Faud Al-Ahwani, bahwa kebanyakan pengaran-pengarang Arab menempatkan kalimat hikmah di tempat kalimat filsafat, dan menempatkan kalimat hakim di tempat kalimat failusuf atau sebaliknya. Namun demikian, mereka mengatakan bahwa sebenarnya kata hikmah itu berada di atas kata filsafat.

Al-Farabi berkata: Failusuf adalah orang yang menjadikan seluruh kesungguhan dari kehidupannya dan seluruh maksud dari umurnya mencari hikmah yaitu mema'rifati Allah yang mengandung pengertian mema'rifati kebaikan.

Ibnu Sina mengatakan, hikmah adalah mencari kesempurnaan diri manusia dengan dapat menggambarkan segala urusan dan membenarkan segala hakikat baik yang bersifat teori maupun praktik menurut kadar kemampuan manusia.

Kemudian Ahli tafsir Muhammad Abduh mengatakan bahwa hikmah adalah ilmu yang berhubungan dengan rahasia-rahasia, yang kokoh/rapi, dan bermanfaat dalam menggerakkan amal pekerjaan.

Sementara itu ada yang berpendapat bahwa asal makna hikmah adalah tali kendali untuk kuda dalam mengekang kenakalannya. Dari sini makna diambillah kata hikmah dalam arti pengetahuan atau kebijaksanaan karena hikmah ini menghalang-halangi dari orang yang mempunyai perbuatan rendah. Kemudian hikmah diartikan perkara yang tinggi yang dapat dicapai oleh manusia dengan melalui alat-alatnya yang tertentu yaitu akal dan metode-metode berpikirnya.

Apabila melihat ayat-ayat Al-Qur’an, maka ada beberapa arti yang dikandung dalam
kata hikmah itu, antara lain adalah:
Untuk memperhatikan keadaan dengan seksama untuk memahami rahasia syariat dan maksud-maksudnya.

Kenabian

Dengan demikian hikmah yang diidentikkan dengan filsafat adalah ilmu yang membahas tentang hakikat sesuatu, baik yang bersifat teoritis (etika, estetika maupun metafisika) atau yang bersifat praktis yakni pengetahuan yang harus diwujudkan dengan amal baik.

Sampailah kita pada pengertian Filsafat Islam yang merupakan gabungan dari filsafat dan Islam. Menurut Mustofa Abdur Razik, Filsafat Islam adalah filsafat yang tumbuh di negeri Islam dan di bawah naungan negara Islam, tanpa memandang agama dan bahasa-bahasa pemiliknya. Pengertian ini diperkuat oleh Prof. Tara Chand, bahwa orang-orang Nasrani dan Yahudi yang telah menulis kitab-kitab filsafat yang bersifat kritis atau terpengaruh oleh Islam sebaiknya dimasukkan ke dalam Filsafat Islam.

Dr. Ibrahim Madzkur mengatakan: Filsafat Arab bukanlah berarti bahwa ia adalah produk suatu ras atau umat. Meskipun demikian saya mengutamakan menamakannya filsafat Islam, karena Islam bukan akidah saja, tetapi juga sebagai peradaban. Setiap peradaban mempunyai kehidupannya sendiri dalam aspek moral, material, intelektual dan emosional. Dengan demikian, Filsafat Islam mencakup seluruh studi filosofis yang ditulis di bumi Islam, apakah ia hasil karya orang-orang Islam atau orang-orang Nasrani ataupun orang-orang Yahudi (Fuad Al-Ahwani, Hal. 15).

Drs. Sidi Gazalba memberikan gambaran sebagai berikut: Bahwa Tuhan memberikan akal kepada manusia itu menurunkan nakal (wahyu/sunnah) untuk dia. Dengan akal itu ia membentuk pengetahuan. Apabila pengetahuan manusia itu digerakkan oleh nakal, menjadilah ia filsafat Islam. Wahyu dan Sunnah (terutama mengenai yang ghaib) yang tidak mungkin dibuktikan kebenarannya dengan riset, filsafat Islamlah yang memberikan keterangan, ulasan dan tafsiran sehingga kebenarannya terbuktikan dengan pemikiran budi yang bersistem, radikal dan umum (Drs. Sidi Gazalba, hal. 31).

Dengan uraian di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa filsafat Islam adalah suatu ilmu yang dicelup ajaran Islam dalam membahas hakikat kebenaran segala sesuatu.

Banyak di kalangan para ahli berbeda dalam menanamkan filsafat Islam. Apakah ia merupakan filsafat Islam atau filsafat Arab atau ada nama lain dari kedua istilah itu.

Prof. Mu'in, menyatakan apabila filsafat itu disebut dengan Filsafat Arab, berarti mengeluarkan orang Iran, orang Afghanistan, orang Pakistan, dan orang India. Oleh karena itu memilih dengan Filsafat Islam. Demikian pula orientalis Perancis Courbin, seorang Islamolog dan kebudayaan Iran, membela dengan Filsafat Islam. Sebagaimana dikatakannya. Jika kita mengambil nama Filsafat Arab, pengertiannya sempit sekali bahkan keliru.

Berbeda dengan As-Sahrawardi Ar-Razi, beliau lebih suka memilih pendapat yang menamakannya Filsafat di dunia Islam, adapun Mauric de Wild, Emik Brehier dan Lutfi As Sayid menyebutkan dengan Filsafat Arab. Pada umumnya pendapat yang menyebutkan Filsafat Arab beralasan bahwa filsafat itu ditulis dalam bahasa Arab, atau ia diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan menambah unsur-unsur baru dalam bahasa Arab.

Sebenarnya perbedaan istilah tersebut hanya perbedaan nama saja, sebab bagaimanapun juga hidup dan suburnya pemikiran filsafat tersebut adalah di bawah naungan Islam dan kebanyakan ditulis dalam bahasa Arab. Kalau yang dimaksud dengan Filsafat Arab ialah bahwa filsafat tersebut adalah hasil orang Arab semata-mata, maka tidak benar. Sebab kenyataan menunjukkan bahwa Islah telah mempersatukan berbagai-bagai umat, dan kesemuanya telah ikut serta dalam memberikan sumbangannya dalam filsafat tersebut. Sebaliknya kalau yang dimaksud dengan filsafat Islam adalah hasil pemikiran kaum muslimin semata-mata, juga berlawanan dengan sejarah, karena mereka pertama-tama berguru pada aliran Nestorius dan Yacobias dari golongan Masehi, Yahudi dan penganut agama Shabi’ah, dan kegiatan mereka dalam berilmu dan filsafat selalu berhubungan dengan orang-orang Masehi dan Yahudi yang ada pada masanya.

Namun pemikiran-pemikiran filsafat pada kaum muslimin lebih tepat disebut filsafat Islam, mengingat bahwa Islam bukan saja sekedar agama, tetapi juga peradaban. Pemikiran filsafat ini sudah barang tentu berpengaruh oleh peradaban Islam tersebut, meskipun pemkiran itu banyak sumbernya dan berbeda-beda jenis orangnya. Corak pemikiran tersebut adalah Islam, baik tentang problem-problemnya, motif pembinaannya maupun tujuannya, karena Islam telah memadu dan menampung aneka peradaban serta pemikiran dalam satu kesatuan. Apabila hal ini ditunjang dengan pemakaian buku-buku yang berasal dari filosuf Islam seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, ataupun Al-Farabi.

Objek Filsafat Islam

Telah disebutkan bahwa objek filsafat adalah menelaah hakikat tentang Tuhan, tentang manusia dan tentang segala realitas yang nampak di hadapan manusia. Ada beberapa persoalan yang biasa dikedepankan dalam mencari objek filsafat meskipun akhirnya tidak akan lepas dari ketiga hal itu, yaitu:
Dari apakah benda-benda dapat berubah menjadi lainnya, seperti perubahan oksigen dan hidrogen menjadi air?

Apakah jaman itu yang menjadi ukuran gerakan dan ukuran wujud semua perkara?

Apakah bedanya makhluk hidup dengan makhluk yang tidak hidup?

Apakah ciri-ciri khas makhluk hidup itu?

Apa jiwa itu? Jika jiwa itu ada, apakah jiwa manusia itu abadi atau musnah?

Dan masih ada lagi pertanyaan-pertanyaan lain.


Persoalan-persoalan tersebut membentuk ilmu fisika dan dari sini kita meningkat kepada ilmu yang lebih umum ialah ilmu metafisika, yang membahas tentang wujud pada umumnya, tentang sebab wujud, tentang sifat zat yang mengadakan. Dari sini kita bisa menjawab pertanyaan: Apakah alam semesta ini wujud dengan sendirinya ataukah ia mempunyai sebab yang tidak nampak?

Kemudian kita dapat membuat obyek pembahasa lagi, yaitu pengetahuan/pengenalan itu sendiri, cara-cara dan syarat-syarat kebenaran atau salahnya, dan dari sini maka keluarlah ilmu logika (ilmu mantiq) yang tidak ada kemiripannya dengan ilmu-ilmu positif. Kemudian kita melihat kepada akhlak dan apa yang seharusnya diperbuat oleh perorangan, keluarga dan masyarakat, yang berbeda dengan ilmu. Sosiologi lebih menekankan kepada pengertian tentang gejala-gejala kemasyarakatan dan hubungannya, tanpa meneliti apa yang seharusnya terjadi.

Dari uraian ini, maka filsafat sebagai ilmu yang mengungkap tentang wujud-wujud melalui sebab-sebab yang jauh, yakni pengetahuan yang yakin yang sampai kepada munculnya suatu sebab. Ilmu terhadap wujud-wujud itu adalah bersifat keseluruhan, bukan terperinci, karena pengetahuan secara terperinci menjadi lapangan ilmu-ilmu khusus. Oleh karena sifatnya keseluruhan, maka filsafat hanya membicarakan benda pada umumnya atau kehidupan pada umumnya.

Dengan demikian filsafat mencakup seluruh benda dan semua yang hidup yakni pengetahuan terhadap sebab-sebab yang jauh yang tidak perlu lagi dicari sesudahnya. Filsafat berusaha untuk menafsirkan hidup itu sendiri yang menjadi sebab pokok bagi partikel-partikel itu beserta fungsi-fungsinya. Cakupan filsafat Islam tidak jauh berbeda dari objek filsafat ini. Hanya dalam proses pencarian itu Filsafat Islam telah diwarnai oleh nilai-nilai yang Islami. Kebebasan pola pikirannya pun digantungkan nilai etis yakni sebuah ketergantungan yang didasarkan pada kebenaran ajaran ialah Islam.

Hubungan Filsafat Islam Dengan Filsafat Yunani

Proses sejarah masa lalu, tidak dapat dielakkan begitu saja bahwa pemikiran filsafat Islam terpengaruh oleh filsafat Yunani. Para filosuf Islam banyak mengambil pemikiran Aristoteles dan mereka banyak tertarik terhadap pemikiran-pemikiran Platinus. Sehingga banyak teori-teori filosuf Yunani diambil oleh filsuf Islam.

Demikian keadaan orang yang dapat kemudian. Kedatangan para filosuf Islam yang terpengaruh oleh orang-orang sebelumnya, dan berguru kepada filsuf Yunani. Bahkan kita yang hidup pada abad ke-20 ini, banyak yang berhutang budi kepada orang-orang Yunani dan Romawi. Akan tetap berguru tidak berarti mengekor dan mengutip, sehingga dapat dikatakan bahwa filsafat Islam itu hanya kutipan semata-mata dari Aristoteles, sebagaimana yang dikatakan oleh Renan, karena filsafat Islam telah mampu menampung dan mempertemukan berbagai aliran pikiran. Kalau filsafat Yunani merupakan salah satu sumbernya, maka tidak aneh kalau kebudayaan India dan Iran juga menjadi sumbernya. Pertukaran dan perpindahan suatu pikiran bukan selalu dikatakan utang budi. Suatu persoalan dan hasilnya dapat mempunyai bermacam-macam corak. Seorang dapat mengemukakan persoalan yang pernah dikemukakan oleh orang lain sambil mengemukakan teorinya sendiri. Spinoza, misalnya, meskipun banyak mengutip Descartes, ia mempunyai mahzab sendiri. Ibnu Sina, meskipun menjadi murid setia Aristoteles, ia mempunyai pemikiran yang berbeda-beda.

Para filsuf Islam pada umumnya hidup dalam lingkungan dan suasana yang berbeda dari apa yang dialami oleh filsuf-filsuf lain. Sehingga pengaruh lingkungan terhadap jalan pikiran mereka tidak bisa dilupakan. Pada akhirnya, tidaklah dapat dipungkiri bahwa dunia Islam berhasil membentuk filsafat yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan keadaan masyarakat Islam itu sendiri.

Hubungan Filsafat Islam dengan Ilmu-ilmu Islam

Keunggulan khusus bagi filsafat Islam dalam masalah pembagian cabang-cabangnya adalah mencakup ilmu kedokteran, biologi, kimia, musik ataupun falak yang semuanya menjadi cabang filsafat Islam. Sehingga hal ini menjadi nilai lebih bagi filsafat Islam. Dengan demikian filsafat Islam secara khusus memisahkan diri sebagai ilmu yang mandiri. Walaupun hasil juga ditemukan keidentikan dengan Pemandangan orang Yunani (Aristoteles) dalam masalah teori tentang pembagian filsafat oleh filosuf-filosuf Islam.

Filsafat memasuki lapangan-lapangan ilmu ke-Islaman dan mempengaruhi pembatas-pembatasnya. Penyelidikan terhadap keilmuan meliputi kegiatan filsafat dalam dunia Islam. Dan yang menjadi perluasan ilmu dengan tidak membatasi diri dari hasil-hasil karya filosuf Islam saja, tetapi dengan memperluas pembahasannya. Hasil ini meliputi ilmu kalam, tasawuf, ushul fiqh dan tarikh tasyri’.

Para ulama Islam memikirkan sesuatu dengan jalan filsafat ada yang lebih berani dan lebih bebas daripada pemikiran-pemikiran mereka yang biasa dikenal dengan nama filosuf-filosuf Islam. Di mana perlu diketahui bahwa pembahasan ilmu kalam dan tasawuf banyak terdapat pemikiran dan teori-teori yang tidak kalah teliti daripada filosuf-filosuf Islam.

Pemikiran Islam mempunyai ciri khas tersendiri dibanding dengan filsafat Aristoteles, seperti halnya pemikiran Islam pada ilmu kalam dan tasawuf. Demikian pula pada pokok-pokok hukum Islam (tasyri’) dan Ushul Fiqh juga terdapat beberapa uraian yang logis dan sistematis dan mengandung segi-segi kefilsafatan. Syekh Mustafa Abdur Raziq adalah orang yang pertama mengusulkan ilmu Fiqh menjadi bagian dari filsafat. Berikut ini ada beberapa hubungan filsafat Islam dengan Ilmu Tasawuf, Ilmu Fiqh, dan Ilmu Pengetahuan:

Filsafat Islam dengan Ilmu Kalam
Problem yang ada terhadap filsafat Islam, apakah identik dengan Ilmu Kalam? Ataukah sebagai ilmu yang berdiri sendiri? Apakah ilmu kalam itu sebagai cabang dari filsafat?
Ada beberapa pendapat ahli yang mencoba menjawab pertanyaan di atas antara lain:
Dr. Fuad Al-Ahwani di dalam bukunya Filsafat Islam tidak setuju kalau filsafat sama dengan ilmu kalam. Dengan alasan-alasan sebagai berikut:

Karena ilmu kalam dasarnya adalah keagamaan atau ilmu agama. Sedangkan filsafat merupakan pembuktian intelektual. Obyek pembahasannya bagi ilmu kalam berdasar pada Allah SWT. dan sifat-sifat-Nya serta hubungan-Nya dengan alam dan manusia yang berada di bahwa syariat-Nya. Objek filsafat adalah alam dan manusia serta pemikiran tentang prinsip wujud dan sebab-sebabnya. Seperti filosuf Aristoteles yang dapat membuktikan tentang sebab pertama yaitu Allah. Tetapi ada juga yang mengingkari adanya wujud Allah SWT. sebagaimana aliran materialisme.

Ilmu kalam adalah suatu ilmu Islam asli yang menurut pendapat paling kuat, bahwa ia lahir dari diskusi-diskusi sekitar Al-Qur’an yaitu Kalam Allah, apakah ia Qadim atau makhluk. Perbedaan pendapat terjadi antra Kaum Mu’tazilah, pengikut Ahmad bin Hambal dan pengikut-pengikut Asy’ari. Adapun filsafat adalah istilah Yunani yang masuk ke dalam bahasa Arab sebagai penegasan Al-Farabi bahwa nama filsafat itu berasal dari Yunani dan masuk ke dalam bahasa Arab.

Pada Abad 2 H, telah lahir filsafat Islam, dengan bukti adanya filosuf-filosuf Islam seperti Al-Kindi.

Di samping itu, di kalangan ahli ilmu kalam sudah ada ahli yang terkenal seperti Al-Annazam, Al-Jubbai, Abul-Huzail Al-‘Allaf. Para ahli ilmu kalam ini tidak ada yang menamakan diri sebagai filosuf. Dan ada pertentangan tajam di antara kedua belah pihak. Sebagaimana Al-Ghazali sebagai pengikut aliran Asy’ariyah yang menulis kitab Tahafutul Falasifah. Namun dari kalangan ahli filsafat, Ibnu Rusyd menjawab terhadap tuduhan itu dengan menulis: Tahafutul Al-Tahafuit (Inkosistensinya kitab Tahafut).

Prof. Tara Chana

Dia mengemukakan bahwa istilah filsafat Islam adalah untuk arti dari ilmu kalam. Ia lebih lanjut menyatakan bahwa filsafat itu telah lahir dari kebutuhan Islam dan perdebatan keagamaan dan pada dasarnya mementingkan pengukuhan landasan aqidah atau mencarikan dasar filosofisnya, ataupun untuk membangun pemikiran-pemikiran theologi keagamaan.

Prof. Fuad Al-Ahwani

Ia mengakui, bahwa sekolah pada abad ke-6 H, filsafat telah bercampur dengan ilmu kalam, sampai yang terakhir ini telah menelan filsafat sedemikian rupa dan memasukkannya di dalam kitab-kitabnya. Sehingga kitab-kitab tauhid yang membahas ilmu kalam didahului dengan pendahuluan mengenai logika Aristoteles dengan mengikuti cara para filosuf.


Sumber: http://a2i3s-c0ol.blogspot.com

Ketiadaan Keburukan

Wujud murni tiada berbatas adalah hakikat segala. Dan sungguh wujud itu sempurna. Bebas dari semua kekurangan. Dan bahkan wujud adalah kesempurnaan itu sendiri. Sedang segala sesuatu selain wujud secara essensial adalah cacat dan kurang. Secara essensial mereka itu faqir. Tapi karena segala sesuatu selain wuj ud hanyalah ada sebagai mahiyyah dalam imajinasi, maka Terpujilah Tuhan Yang Maha Kaya dari segala kekurangan. Terpujilah Realitas dari segala hal. Hanya Ia-lah Yang Ada dan tiada selain Ia. Maka dalam pandangan orang-orang yang dikaruniai bashiiroh, dzauq dan kasyf al-wujuud, keburukan tidak mempunyai keberadaan dalam segenap alam ini. Yang ada hanyalah Kebaikan.

Karena itu, para wali Allah mesti – lah mencapai tingkatan, “Alaa inna auliyaa `alloohi laa khoufun ‘alaihim walaa hum yahzanuun. ” “ Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” Karena apa yang perlu dikhawatirkan lagi, sedang Segela adalah Kebaikan, dan tidak ada keburukan. Sakit dan nikmat, hanyalah menunjukkan Lautan Kenikmatan yang tak mungkin pernah dapat dirasakan sempurna oleh makhluk. Baik dan buruk, hanyalah menunjukkan Lautan Kebenaran yang tak mungkin pernah diarungi oleh makhluk, bahkan tak ada batasnya. Senang dan sedih, hanyalah menunjukkan Samudera Kebahagiaan yang dirahmatkan oleh wujud murni kepada makhluknya yang tak mungkin menampung keseluruhannya.

Wujud murni tiada berbatas, tak punya lawan. Salahlah orang yang membayangkan setan dan iblis sebagai lawan Tuhan. Bahkan setan dan iblis, – yang kadang diyakini sebagai sumber keburukan dan kejahatan-, tak memiliki wujud yang mandiri. Tuhan, wujud mutlak tanpa batas, tak bisa dibandingkan dengan apa pun , juga ia tak ada sesuatu apa pun yang dapat di-”lawan”-kan dengan-Nya dari semua sudut pandang. Maha Suci Ia dari semua apa yang mereka sifatkan.

Maka derita dan kesedihan bukanlah keburukan, namun justru merupakan segi – segi cerlang Kesempurnaan penciptaan. Sakit dan derita wujud sama sekali bukan merupakan kekurangan, namun adalah keniscayaan Kesempurnaannya sendiri. Demikian, ketika seorang pencari Tuhan mencapai penyingkapan hakikat wujud tertentu, ia akan terlarut dalam Samudera Cinta pada Tuhan yang dipenuhi dengan onak dan duri. Onak dan duri yang amat menyakitkan dan memerihkan. Adalah onak rindu kepada Tuhan sebagai wujud tunggal, dan duri – duri hasrat untuk melihat Dia, Huwa yang merupakan hakikat wujud mutlak yang tak akan pernah terjangkau. Yaa Huwa, yaa man laa ya’lamu man Huwa, wala aina Huwa, walaa kaifa Huwa, walaa haitsu Huwa illa Huwa. Wahai Dia, wahai yang tak mengetahui Siapakah Dia, di manakah Dia, bagaimanakah Dia, sedang dalam keadaan bagaimanakah Dia kecuali Dia.

Seseorang yang mencapai tauhid terendah, – yaitu tauhid af’al-, tidak akan pernah mengeluhkan keadaan apa pun dalam kehidupan ini. Karena mereka melihat bahwa pe-laku ( baca : pe-wujud) dari semua yang ada hanyalah Ia Yang Maha Tunggal. Dan tak ada serikat bagi – Nya dalam perbuatan (baca : pe-wujud)-Nya. Dan bahkan dalam pandangan para ‘arif yang telah mencapai tauhid dzat, tak ada keburukan apa pun dan tak ada kekurangan apa pun yang memasuki alam (baca : Samudera Wujud) ini. Maka mereka semua akan selalu ridho terhadap semua yang terjadi dalam realitas ini. Allah ridho pada mereka, dan mereka – pun ridho pada – Nya.

Maka adalah sebuah ciri orang yang telah mencapai tauhid; adalah senantiasa ridho dan wajahnya membekaskan lautan kenikmatan. Tidak terlalu gembira dengan apa yang menyenangkannya, tak pula terlalu sedih dari apa yang luput. Wujuuhun yauma`idzin naa’imah. Lisa’yihaa roodhiyah. Wajah – wajah yang selalu dipenuhi dengan syukur nikmat. Sebagaimana Nabi Ayyub (a.s.) tetap bersyukur kepada Allah setelah tujuh tahun dihinggapi derita kusta yang amat payah. Dan mungkin sebuah ciri lain adalah tak pernah terburu – buru atau mengejar sesuatu yang menjadi hasratnya. Bukankah Imam ‘Ali (a.s.) telah berkata dalam doa Kumail; waf ‘ al bimaa anta ahluh (lakukan apa yang Engkau adalah ahlinya). Atau meminjam perkataan Maulana Rumi; aku – lah ikan , Engkau – lah Lautan, genggamlah aku sebagaimana yang Engkau sukai. Sungguh, Cinta kepada Allah, akan melenyapkan seluruh keburukan dan menggantinya dengan Kebaikan. Dan Cinta kepada Allah akan melenyapkan seluruh dualisme – dualisme lain yang menjadi akar dari seluruh kesyirikan di dunia. Maulana Rumi berkata; Cinta kepada Allah melenyapkan semua kesulitan, seperti matahari di siang hari melenyapkan semua bayangan.

Apa pun adalah kebaikan. Apa pun, kebaikan adanya. Apa pun, adalah wujud Kebaikan dan Kesempurnaan Tuhan Yang Maha Semarak.

demikian tak ada baik tak ada buruk
yang ada hanyalah Ia sendiri

tak ada nikmat tak pula duka
yang ada hanyalah Sepi sendiri

tak pula tangis tak pula tawa
Bahagia dalam Perih Ceruknya Rindu

tak pula sedih tak pula girang
Ia Gemilang dalam Cahaya-Nya sendiri

maka demikianlah, tidaklah Ia puji
melainkan Muhammad sendiri

dan tak patut Ia puji
selain Muhammad sendiri

sehingga dilelautan dan gegunungan
yang ada hanyalah Muhammad sendiri

di awan pun , di langit pun, di ‘Arsyi pun
Gemilang Terang Muhammad sendiri

tak kan berkilau intan tanpa gosokan
Tak kan Bercahaya Muhammad tanpa derita

maka benarlah Rasul yang mengatakan,
“Tak seorang nabi pun yang menderita seperti apa yang kuderita”

bukankah Imam Shadiq(a..s.) mengatakan,
“Dan orang yang lemah imannya dan lemah akalnya lemah pula cobaannya.”

Maka kini kukatakan
dengan hati yang bergemeretakan;

Ayyub- Ayyub dalam perahu
Derita ayyub Ribuan Samudera

Tapi Muhammad dan Husein di dalam rahasia “hu”
tiada derita seperih Karbela

Juntai ikal Husaini,
Seribu Wangi Kesturi

Perih sekali darah Karbela,
tiada duka seperih Karbela

Muhammad Nabi tangisi ummatnya
dalam nafas akhirnya, “ummati” adalah gumannya

Tapi ummatnya mengucur darahnya
membantai Cucu Nabi biji mata Nabi

Oh mereka mengharap syafa’at
sembari menyiksa Cucu Nabi hingga sekarat

Oh, mereka mengharap kasih sayang Nabi
sembari menyeret wanita-keluarga Nabi hingga sekarat

Oh, mereka berkata kucinta Nabi
sambil menghancurkan biji-mata Nabi

Oh, mereka berkata kuberiman pada Nabi,
sembari melaknat keluarga Nabi

Terkutuklah mereka semua, di awal dan di akhir
terlaknatlah mereka semua, dalam jahannam kehinaan

Mereka katakan, kucinta Nabi
sembari membiarkan bayi Asghar kehausan

Mereka katakan kuberiman kepada Nabi?
sembari menombak cucu Nabi yang masih bayi?

Mereka katakan kumalu pada Nabi?
sembari mempermalu Zainab dan wanita-wanita Nabi

Mereka katakan kucinta kerabat Nabi,
tapi enggan meratapi Kepala Husain?

Terkutuklah orang yang mendengar berita kepala Husain
dan tak meratapinya hingga kering airmata darahnya

Terkutuklah orang yang mendengar keluarga Nabi tak boleh minum walau seteguk
dan tak mengutuki mereka – mereka yang memperbolehkan binatang minum tapi keluarga Nabi tidak !

Besarnya balaku, Zainab putri Fathimah berlari – lari
Husein akan tinggalkan aku, Zainab putri Fathimah meratap sendiri

Zainab menangis merintih menjerit di padang Karbela
Yazid bergembira ria mempermainkan Kepala Kakaknya

Besarnya balaku, Zainab putri Fathimah merintih sendiri
Lautan darah Keluarga Nabi, Zainab putri Fathimah merintih sendiri

dipersembahkan karangan bunga bagi para hamba nan mencapai ajal
kupersembahkan lautan darah ku bagi para Syahid di Karbela

kerna wangi darahnya melampaui taman gulistan
dan suci darahnya melampaui melati putih

dipersembahkan puja puja dan doa bagi para mukmin nan mencapai ajal
kupersembahkan Jantungku nan Berdarah perih bagi Imam Husain di Karbela

tak pernah kutangisi melainkan Wajah mu
tak pernah kuratapi melainkan Darah mu

tak pernah kurindu melainkan Senyum mu
dikaulah Husein pujaan hati

tak pernah kutangisi melainkan Zainab mu
tak pernah kuratapi melainkan Zainab mu

menggigil tubuh menahan derita
Zainab mu kau tinggalkan oh hancurlah hati

jika Musa dikhianati kaumnya dengan Sapi Samiri
Keluarga Muhammad dibantai dan disembelih ummatnya

jika Ibrahim harus menyembelih Ismail sendiri
Husein menggendong anaknya yang bayi dan ditombak di depan mata sendiri

jika Yusuf dimasukkan dalam sumur yang gelap
Keluarga Husein kehausan kekeringan dalam padang Karbela

Jika sembelihan Ibrahim diganti tuhan dengan domba
Kurban keluarga Muhammad telah tetap Husein Syahid di Karbela

Jika Nuh diselamatkan Tuhan dalam bahtera di samudera
Maka Husein dibantai, darah Keluarga Nabi pun mengucur bak samudera

sayap sayap beterbangan
burung burung bertebaran

Syuhada – syuhada beterbangan
bertemu Nabi Kekasih Tuhan

kering Karbala
hening Karbala

jerit demi jerit Lautan Darah Karbala
Tiada derita seperih Karbala


sumber: http://filsafatislam.net

POHON EKSISTENSI IBNU ‘ARABI (Bagian 1)

Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan tentang perkataan yang baik sebagai sebuah pohon yang baik, yang akarnya kokoh dan dahan-dahannya menjulang tinggi? (Q.S. Ibrahim, 24)

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah, Yang Tunggal dan Hanya Tunggal dalam Hakikat-Nya serta unik dalam Sifat-sifat-Nya. Maha Suci Dia yang Rahmat-Nya meliputi semua, yang menyebar ke semua arah. Kemurnian-Nya bebas dan bersih dari segala sesuatu yang dapat dilihat dan dibayangkan.

Dia bergerak ke tempat-tempat yang tak terbatasi oleh enam penjuru. Dia melakukan apa yang Dia lakukan tanpa bertindak atau berbuat. Dia melihat segala sesuatu tanpa memandang.

Dia sangat jauh diatas makna dari segala sesuatu ini.
Keunikan-Nya tidak memperkenankan apa pun menyerupai Dia, dan juga tak ada apapun yang bisa memiliki atau melekatkan dirinya pada Nya. Kekuasaan-Nya selalu mencapai tujuannya dan tak pernah sia-sia.

Kehendak-Nya yang mendominasi semua tidaklah memiliki kesamaan dengan hasrat-hasrat rendah sifat manusia, juga Kehendak-Nya senantiasa tidak akan berubah dengan kehendak makhluk-Nya; demikian juga tidak akan menjadi lawan terhadap permohonan makhluk-Nya. Sifat-sifat Ilahiah-Nya, yang Dia manifestasikan pada makhluk-Nya, tidak bertambah atau berkurang ketika dibagi diantara mereka, karena segala Sifat-Nya tidak lain adalah tunggal.

Dia adalah sebab segala sesuatu. Dan ketika Dia berkehendak sesuatu terjadi, semua yang Dia perlu lakukan adalah berkata kun (Jadilah !), maka terjadilah semua yang ada. Semua yang maujud lahir dari makna rahasia terdalam yang tersembunyi dari kata KUN ini. Bahkan semua yang tersembunyi dari mata dan pikiran adalah tidak lain kecuali hasil dari suara misterius ini.

Sebagaimana Allah Ta’alaa berfirman :

Ketika Kami menghendaki sesuatu terjadi, Kami hanyalah berkata kun, maka jadilah ia. (Q.S An-Nahl, 40)

Bersambung ke bagian 2

* *

Dari buku The Tree of Being (Shajarat al-Kawn) An Orde to the Perfect Man karangan Ibn’ Arabi. Diterjemahkan oleh AAUWABDDAM (Ayatullah Al Uzma Wa’Arif Billah Deddy Djuniardi Antafani Masyhadi).


sumber: http://filsafatislam.net

Logika Menentang Agama

“Man tamanthaqa faqad fazandaqa”, demikian ungkapan terkenal dari tokoh besar di dunia Islam, Ibn Taimiyyah. Arti harfiahnya kira-kira adalah, “Barang siapa menggunakan logika maka ia telah kafir”.
Apakah sikap seperti ini dapat dibenarkan? Ataukah memang mutlak salah? Apa implikasi jika sikap seperti ini dibenarkan? Dan apa pula konsekuensinya jika ia mutlak salah? Ataukah sikap seperti ini relatif, bisa benar sekaligus bisa salah secara bersamaan atau secara fuzzy ? Dan apa-kah konsekuensinya jika kebenaran sikap seperti ini fuzzy atau relatif?
Logika adalah kaidah-kaidah berfikir. Subyeknya akal-akal rasional. Obyeknya adalah proposisi bahasa. Proposisi bahasa mencerminkan realitas, apakah itu realitas di alam nyata ataupun realitas di alam fikiran. Kaidah-kaidah berfikir dalam logika bersifat niscaya atau mesti. Penolakan terhadap kaidah berfikir ini mustahil (tidak mungkin). Bahkan mustahil pula dalam semua khayalan yang mungkin (all possible intelligebles). Contohnya, sesuatu apapun pasti sama dengan dirinya sendiri, dan tidak sama dengan yang bukan dirinya.
Prinsip berfikir ini telah tertanam secara niscaya sejak manusia lahir. Tertanam secara spontan. Dan selalu hadir kapan saja fikiran digunakan. Dan harus selalu diterima kapan saja realitas apapun dipahami. Bahkan, lebih jauh, prinsip ini sesungguhnya adalah satu dari watak niscaya seluruh yang maujud (the very property of being). Tidak mengakui prinsip ini, yang biasa disebut dengan prinsip non-kontradiksi, akan menghancurkan seluruh kebenaran dalam alam bahasa maupun dalam semua alam lain. Tidak menerimanya berarti meruntuhkan seluruh bagunan agama, filsafat, sains dan teknologi, dan seluruh pengetahuan manusia.
Sebagai contoh perkataan ‘Ibn Taimiyyah di atas, jika misal pernyataan itu benar, maka menggunakan kaidah logika adalah salah. Karena menggunakan kaidah logika salah, maka prinsip non-kontradiksi salah. Kalau prinsip non-kontradiksi salah . Artinya seluruh kebenaran tiada bermakna, tidak bisa dibenarkan ataupun disalahkan, atau bisa dibenarkan dan disalahkan sekaligus. Kalalu seluruh keberadaan tidak bermakna, maka pernyataan itu sendiri “Man tamanthaqa faqad fazandaqa” juga nafi. Tak bermakna. Tak perlu dipikirkan.
Menerima kebenaran pernyataan beliau tersebut sama saja dengan mengkafirkan beliau. Karena jika peenyataan tersebut benar, maka untuk membenarkannya telah digunakan kaidah logika. Dan karena beliau telah menggunakan kaidah logika, menurut pernyataan-nya sendiri beliau kafir. Jadi sebaiknya pernyataan pengkafiran orang yang menggunakan logika ini benar-benar ditolak. Pernyataan ini salah. Salah. Dan mustahil benar. Karena kalau benar, semua orang yang berfikir benar kafir. Dan ini mustahil.
“Wa qul jaa ‘al-haqqa wazahaaqal-baathil, innal-baathila kaana zahuuqa.” Dalam pandangan saya, Islam jelas menentang adanya relativisme Kebenaran. Dalam Islam yang benar pasti benar dan tidak mungkin salah. Sedang yang salah pasti salah dan tak mungkin benar. Dalam dunia dikenali adanya golongan relativis kebenaran yang disebut sufastaiyyah. Golongan relativis kebenaran ini merupakan pewaris mazhab pemikiran sophisme, yang bermula pada abad ke-5 dan ke-4 SM di Yunani melalui pemikiran Protagoras, Hippias, Prodicus, Giorgias dan lain-lain.
Beberapa pemikiran yang mendasari gelombang filsafat pasca-modernis juga merupakan cerminan dari pandangan golongan ini. Dalam majalah Ummat No.3/Thn.I/7 Agustus 1995, hal 76, DR.Wan Mohd Nor Wan Daud menjelaskan bahwa Akidah Islam jelas menentang keras sikap golongan sufastaiyyah ini. Bagi golongan sufastaiyyah, benar itu bisa salah dan salah itu bisa benar. Bagi golongan shopisme Yunsni, semua yang jelas-jelas ada ini dianggap tidak memiliki keberadaan. Jadi ada dan tiada sama saja. Bagi golongan positivis pasca- Renaisance, semua yang tidak bisa diukur tidak bisa ditentukan benar salahnya. Bagi pengikut Marx dan Hegel, kontradiksibukan saja mungkin terjadi, tapi menjadi arah gerakan alam yang sering disebut sebagai dialektika Hegel. Bagi golongan relativis pasca-modern, yang mendasarkan pemiokirannya pada language games ala Wittgenstein ataupun Russel seyiap propisisi adalah bahasa, dan setiap bahasa nilai kebenarannya relatif, karena itu setiap keberanan itu relatif.
Adapun sufastaiyyah, misalnya sama. Menghancurkan kaidah dasar logoka. Yaitu prinsip non-kontradiksi. Hanya Protagoras meniadakannya dalam tingkatan ada-tidaknya segala sesuatu, para positivis meniadakannya pada tingkatan hal yang tidak bisa diindra, Marx dan Hegel meniadaknnya sebagai watak umum segala yang maujud, dan Wittgenstein maupun Russel menghilangkan otoritas fikiran untuk menerapkan kaidahnaya kepada alam di luar fikiran. Hasilnya sama. Runtuhnya seluruh bangunan pengetahuan manusia. Runtuhnya suatu bangunan keyakinan manusia. Bahkan keyakinan tentang adanya dirinya sendiri ! Na’uudzubihi min dzaalik.
Penerapan kaidah-kaidah berfikir yang benar telah menghantarkan para filosof besar pada keyakinan yang pasti akan keberadaan Tuhan. Socraets dengan The Most Beauty -nya. Plato dengan archetype -nya. Aristoteles dengan prime-mover-nya.. ‘Ibn Arabi dengan al-jam’u bainal-‘addaad (coincindentia in oppositorium) nya. Suhrawardi dengan Nur-i-qahir nya. Mulla Shadra dan Mulla Hadi Sabzavary dengan Al-Wujud Al-Muthlaq-nya. Jelas-jelas penerapan logika bagi mereka tidak menentang agama. Malah sebaliknya, me-real-kan agama sampai ke seluruh pori-pori rohaninya yang mingkin. Atau dengan kata lain, mencapai hakikat. Dalam dialog terakhir Socrates, digambarkan betapa figur filsuf ini mati tersenyum setelah menyebut nama Tuhan sebelum akhir hayatnya.
Tentang Aristoteles, sebuah riwayat menyatakan bahwa ia adalah seorang nabi yang didustakan ummatnya. Tentang ‘Ibn ‘Arabi, tidak ada yang menyangsingkan sebagai salah seorang sufi terbesar sepanjang sejarah dengan tak terhitung pengalaman ruhani yang tertulis di kurang lebih 700 kitabnya. Sedang Mulla Shadra , tujuh kali haji ke Mekkah dengan berjalan dari Qum (Iran) hanya untuk memenuhi panggilan kekasih-Nya. Alih-alih logika menentang agama, malah logika adalah kendaraan super-executive untuk mencapai hakikat. Dan sekali lagi alih-alih logika menentang agama , tanpa logika agama tak-kan dapat terpahami. Jadi apakah logika menentang agama?
wallahu a’lam


sumber:http://filsafatislam.net

Eksistensi Allah

Bahwa Dia bukan materi, tidak terikat ruang dan waktu, tidak memiliki tubuh dan tidak memiliki bentuk.
Karena materi selalu tersusun atas bagian-bagian yang lebih kecil, maka KesederhanaanNya mengimplikasikan bahwa Wujud Wajib bukanlah materi. Lebih lanjut, karena setiap yang memiliki tubuh(body) minimal tersusun dari materi(matter) dan bentuk(form) maka mustahil Wujud Wajib memiliki tubuh maupun bentuk.



“Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan.”
(QS 37(ASH-SHOFFAT):159)



“…Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia…”
(QS 32(ASY-SYURA):11)

Diriwayatkan dari Hamzah bin Muhammad, dia berkata:



“Aku menulis surat kepada Abul-Hasan (Ats-Tsalits) as., aku bertanya kepadanya tentang tubuh dan bentuk(Nya), maka beliau menjawab: Maha Suci Yang tidak ada yang serupa denganNya. Dia tidak memiliki tubuh dan tidak memiliki bentuk.” [1]

Lebih lanjut, apakah Ia terikat ruang dan waktu? Jawaban atas pertanyaan ini negatif, artinya Ia tidak terikat ruang dan waktu. Hal ini adalah karena ruang maupun waktu adalah tersusun atas di sini, di sana, di situ dan seterusnya, serta hari ini, esok, lusa dan seterusnya, sedangkan Dia sebagai Wujud Wajib adalah Sederhana dan tidak tersusun dengan ketersusunan apa pun.

Bila kita dan makhluk-makhluk dalam semesta material selalu “berdampingan” dan “ditemani” waktu dalam semua aktivitas kita, maka tiada waktu apa pun yang mendampingiNya dalam semua AktifitasNya! Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw. bersabda : “times do not keep company with Him; Waktu tidak menemaniNya/mendampingiNya [2]. Bahkan , lebih lanjut, sungguh keberadaanNya sebagai Wujud Wajib mendahului segala ruang dan waktu. Imam Ali kw. bersabda keberadaanNya mendahului segala waktu.

KetidakterikatanNya pada segala ruang dan waktu bukan berarti penafian kehadiranNya dalam segala ruang dan waktu. Ia, sebagai Wujud Wajib, hadir di segala ruang dan waktu dengan intensitas kehadiran tertinggi, karena melalui Keniscayaan yang dilimpahkan olehNya segala ruang dan waktu muncul dalam alam eksistensi!

Sungguh Ia lah Yang Maha Hadir! Maha Suci Ia yang tiada ruang waktu yang kosong dari Kehadiran AktifNya namun pada saat yang sama Ia tidak terikat ruang dan waktu.

Imam ‘Ali bin Musa ar-Ridha as.bersabda [3] :





“Sesungguhnya Allahtabaraka wa ta’al telah menjadikan dimana itu dimana, tanpa terikat kedimanaan, dan telah menjadikan bagaimana itu benar-benar bagaimana, tanpa terikat kebagaimanaan. Dan (sebelum segala sesuatu diciptakan; penyadur) Dia ada di atas QudratNya. “

Imam Ali bin Abi Thalib as.bersabda [4] :



“…Dia tidak ada terbatas di dalam sesuatu sehingga dapat dikatakan bahwa Ia berada di dalamnya. Tidak pula Ia terpisah dari sesuatu apa pun sehingga dapat dikatakan bahwa Ia jauh darinya…”

* * *

[1]Ash-Shaykh Abu Ja’far Muhammad Ibn Ya’qub ibn Is’haq al-Kulayni ar-Razi, Al-KAFI, WOFIS, Tehran, Vol. 1, Part 1, pp. 262
[2]Nahjul Balaghah, Ansariyan Publications, Qum, 2002 M/1423 H, Khutbah 186, Vol. 1, pp. 21
[3]Nahjul Balaghah, Ansariyan Publications, Qum, 2002 M/1423 H, Khutbah 186, Vol. 1, pp. 21
Ash-Shaykh Abu Ja’far Muhammad Ibn Ya’qub ibn Is’haq al-Kulayni ar-Razi, Al-KAFI, WOFIS, Tehran, Vol. 1, Part 1, pp. 225
[4]Nahjul Balaghah, Ansariyan Publications, Qum, 2002 M/1423 H, Khutbah 65, Vol. 1, pp. 251

Pandangan Ulama Terhadap Ilmu Filsafat

Para ulama yang menganggap filsafat sebagai ilmu sesat adalah para ulama arab saudi dan seluruh ulama di dunia ini yang beraliran salafy/wahaby/ ahlus sunnah wal jamaah. Dalam berbagai buku dan majalah dikatakan bahwa filsafat adalah ilmu sesat yang bertentangan dengan ajaran islam. Namun harus diingat bahwa definisi ilmu filsafat yang dianggap sesat adalah ilmu filsafat yang bertentangan dengan ajaran islam. Imam Ghazali telah menulis buku yang mengkritik filsafat dan menyatakan kafirnya berbagai ajaran fisafat. Namun kemudian Ibnu Rusyd (pengarang kitab bidayatul mujtahid) menulis buku yang membantah buku Imam Ghazali tersebut, dikabarkan bahwa Ibnu Rusyd membela filsafat, mungkin filsafat yang dibela ibnu rusyd adalah filsafat yang tidak bertentangan dengan ajaran islam. Demikianlah kira-kira yang tercantum dalam buku pelajaran agama islam untuk SMA/ SMP, saya agak lupa.
Dengan demikian bisa dibilang bahwa ilmu filsafat itu terdiri dari dua bagian, bagian pertama yang tidak bertentangan dengan ajaran islam dan bagian kedua yang bertentangan dengan ajarn islam. Dan patut diingat bahwa dalam beragama kita tidak memerlukan filsafat karena nabi dan para sahabatnya juga tidak mengajarkan ilmu filsafat.
Ar-Roziy berkata dalam kitab Aqsaamul Ladzdzat : Saya telah menelaah buku-buku ilmu kalam dan manhaj filsafat, tidaklah saya mendapatkan kepuasan padanya lalu saya memandang manhaj yang paling benar adalah manhaj Al-Qur’an…(dan seterusnya).
Abu Hamidz Al-Ghozali berkata di awal kitabnya Al-Ihya : “Jika kamu bertanya : ‘Mengapa dalam pembagian ilmu tidak disebutkan ilmu kalam dan filsafat dan mohon dijelaskan apakah keduanya itu tercela atau terpuji ?’ maka ketahuilah hasil yang dimiliki ilmu kalam dalam pembatasan dalil-dalil yang bermanfaat, telah dimiliki oleh Al-Qur’an dan Hadits (Al-Akhbaar) dan semua yang keluar darinya adakalanya perdebatan yang tercela dan ini termasuk kebid’ahan dan adakalanya kekacauan karena kontradiksi kelompok-kelompok dan berpanjang lebar menukil pendapat-pendapat yang kebanyakan adalah perkataan sia-sia dan ingauan yang dicela oleh tabiat manusia dan ditolak oleh pendengaran dan sebagiannya pembahasan yang sama sekali tidak berhubungan dengan agama dan tidak ada sedikitpun terjadi di zaman pertama… (dan seterusnya).
=========================================
Berikut ini saya kutipkan makalah Syaikh Mansyhur bin Hasan Ali Salman yang mengharamkan filsafat:
Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/1936/slash/0
Haram Menjual Buku-Buku Filsafat Dan Ilmu Kalam
Ibnu Katsier berkata dalam Al Bidayah wan Nihayah 11/69 ketika membeberkan kejadian-kejadian pada tahun 279H: “Dalam tahun ini diumumkan tentang terlarangnya penjualan buku-buku filsafat, ilmu kalam dan debat. Itu merupakan keinginan Abul Abbas Al Mu’tadhid, penguasa Islam.”
Hafizhuddin bin Muhammad yang terkenal dengan sebutan al-Kardiry (w.872H) menceritakan sebuah hikayat yang bagus untuk menjelaskan nilai buku-buku ini (filsafat) disisi para shahabat Nabi.
Beliau berkata : “Diceritakan, ketika Amr bin Al-Ash menguasai kota Iskandariyah, disana ada seorang ahli filsafat bernama Yahya, yang digelari Thumathikus -yaitu ahli ilmu nahwu- , dan penduduk Iskandariyah melaknat dirinya. Ia menganut sekte Al-Yaqubiyah dalam masalah trinitas, kemudian ia meninggalkan trinitas. Maka penduduk Mesir yang beragama Nasrani mendebatnya dan menjatuhkan martabatnya di tengah-tengah masyarakat. Takkala Iskandariyah dikuasai Amr, maka ia selalu menyertai Amr dan suatu hari ia berkata kepada Amr: “Engkau telah mengetahui rahasia penduduk negeri ini, dan engkau menyegel seluruh gudang yang ada, dan engkau tidak mau mengambil menfaat darinya, padahal dalam hal ini tidak seorangpun yang menentangmu. Dan apa-apa yang tidak engkau manfaatkan maka lebih baik diserahkan kepada kami saja!.”
Maka Amr berkata :”Apa yang kau butuhkan?”
Yahya berkata :”Buku-buku filsafat yang ada di gudang.”
“Itu tidak mungkin kecuali dengan ijin dari Amirul mukminin,” jawab Amr.
Kemudian Umar menulis (jawaban) kepada Amr: “Adapun buku-buku yang telah kau ceritakan ,jika sesuai dengan Kitabullah, maka Kitabullah sudah mencukupinya, jika tidak sesuai dengan Kitabullah maka tidak diperlukan.(Oleh karena itu) “Lenyapkanlah” buku-buku itu.”
Maka Amr membagikan buku-buku tersebut pada perapian-perapian di Iskandariyah dan memerintahkan untuk membakar buku-buku tersebut, sehingga selesailah pemusnahan buku-buku filsafat dalam jangka 6 bulan.
Haram Menjual Buku-Buku Karya Al-Hallaj, Ibnu Arabi Dan Tokoh-Tokoh Sufi Lainnya
Al-Malik Al-Muayyib Ismail Abu Fida’ dalam Akhbar Al-Basyar 4/79 :”Ketika tahun 744H, di tahun itu kami mengkoyak-koyak dan mencuci (melunturkan tinta) Kitab Fushulul Hikam karya Muhyidin Ibnu Arabi di Madrasah Al-Ush-furiyah di Halb sesudah pelajaran (didepan murid) sebagai peringatan haramnya menelaah dan memiliki kitab tersebut dan aku berkata : Kitab Fushuh ini sebenarnya tidaklah berharga .Aku membaca goresan-goresannya. Ternyata isinya adalah sebaliknya (dari judulnya)
[Disalin dari Majalah As-Sunnah edisi 12/Th.IV/1421-2000. Diterjemahkan secara ringkas oleh Aris Munandar bin.S.Ahmadi al-Lamfuji, Penerbit Yayasn Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
================================================
Di antara sebab perpecahan paling dominan sejak dulu sampai sekarang adalah banyaknya umat Islam yang terpengaruh ideologi serta filsafat yang datang dari negeri-negeri kafir. Apapun jenis pemikiran, ideologi dan filsafat tersebut, tetap dinyatakan berbahaya selama berkaitan dengan masalah agama, kebudayaan, hukum dan etika.
Dan menerima barang-barang impor tersebut termasuk mengikuti tradisi orang-orang sebelum kita sebagaimana yang disitir Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits beliau.
“Artinya : Kalian bakal mengikuti tradisi orang-orang sebelum kamu” [Al-Hadits]
Oleh sebab itul pula setiap firqah (kelompok) dalam Islam membuat-buat sebagian besar prinsip-prinsipnya dari sekte-sekte terdahulu, Kelompok Rafidhah mengambil prinsip mereka dari Yahudi dan Majusi, kelompok Jahmiyah dan Mu’tazilah mengambil prinsip-prinsip ajaran mereka dari Ash-Sha’ibah dan filsafat Yunani. Kelompok Qadariyah mengambil prinsip ajaran mereka dari Nasrani. Begitulah seterusnya.
[Disalin dari kitab Al-Iftiraaq Mafhumuhu ashabuhu subulul wiqayatu minhu, edisi Indonesia Perpecahan Umat ! Etiologi & Solusinya, oleh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-'Aql, terbitan Darul Haq, penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari]
Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/1027/slash/0
==========================================================
Inilah Ibnu Taimiyah. Dia telah menulis bantahan kepada Asy’ariyah dan Mutakallimin (ahli filsafat) dalam kitab-kitab yang besar. Diantaranya, kitab bantahan kepada Fakhruddin Ar-Razi yang telah membangun madzhabnya yang menyimpang dalam sebuah kitab, yang dinamakan dengan At-Ta’sis. Ibnu Taimiyah menulis bantahan kepadanya sebanyak 4 jilid. Kitab yang dibantah tersebut sekitar kurang lebih seratus halaman. Dibantah oleh Ibnu Taimiyah dengan kitab sebanyak 4 jilid. Berisi tentang penjelasan kesesatan Jahmiyah dan pembongkaran dasar-dasar bid’ah halamiyah (filsafat). Kitab tersebut, dua jilid besar telah dicetak dan selebihnya insya Allah akan dicetak dalam waktu dekat.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VI/1423H/2002M, Diambil dari materi ceramah Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Tanggal 3-6 Muharram 1423H di Ma’had Ali Al-Irsayd Surabaya dengan judul A’lam Dakwah Salafiyah Diterjemahkan oleh Azhar Rabbani dan Muslim Atsari]
Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/1763/slash/0
===========================================================
mempelajari filsafat bagaikan bermain dengan api, jika tidak berhati-hati maka kita akan terbakar, filsafat bisa membuat kita kafir tanpa sadar.
-
PERINGATAN PENTING:
MEMPELAJARI FILSAFAT DAPAT MENYEBABKAN KEBINGUNGAN, KESESATAN, KEKAFIRAN, KEMUSYRIKAN, KEBID’AHAN, LEMAH AKIDAH, GILA, STRESS, GANGGUAN IMAN DAN SERANGAN IBLIS


Sumber : http://ainuamri.wordpress.com

facebooker 468X60